Digitalisasi yang kita nikmati sekarang mulai dari tiket online, jadwal real-time, hingga e-boarding pass dibangun dengan biaya besar dan waktu panjang. Tim teknologi informasi KAI bahkan sempat bekerja tanpa henti selama peluncuran awal sistem tiket digital pada 2013. Ada banyak bug, ada tekanan dari media, ada amarah dari pelanggan. Tapi mereka tetap jalan.
Salah satu hal yang sering diabaikan adalah bagaimana KAI berhasil menciptakan sistem internal yang terintegrasi. Stasiun, jadwal, perawatan armada, hingga SDM kini terhubung lewat sistem pusat. Ini memungkinkan efisiensi dan respons cepat terhadap gangguan. Sebuah prestasi yang banyak institusi publik lain masih kesulitan mencapainya.
Kereta sebagai Medium Perubahan Sosial
Yang tak kalah penting dari transformasi KAI adalah efeknya pada perilaku sosial kita. Kereta kini jadi ruang publik yang rapi, teratur, dan bersih dan itu secara tidak langsung membentuk ulang kebiasaan masyarakat.
Di dalam kereta, kamu tidak boleh merokok, harus antre, tidak boleh makan sembarangan. Dulu aturan ini hanya jadi pajangan, tapi kini benar-benar ditaati. Kenapa bisa begitu? Karena KAI membangun sistem dan penegakan yang konsisten. Di sini kita belajar: orang Indonesia bukan tidak bisa tertib, hanya sistemnya yang dulu tidak mendukung.
Kereta juga menciptakan ruang egaliter. Tak peduli kamu siapa, saat naik KRL atau KA Ekonomi, semua tunduk pada aturan yang sama. Tak ada privilege khusus. Fenomena ini jarang terjadi di moda transportasi lain. Dan itu penting, karena lewat interaksi semacam ini, tumbuh semacam rasa kesetaraan sosial yang sulit dijelaskan, tapi bisa kamu rasakan sendiri.
Di satu sisi, kehadiran kereta yang makin luas hingga ke kota-kota kecil juga membuka akses baru bagi kelompok marjinal. Para pekerja, pelajar, dan petani bisa bergerak lebih jauh, dengan biaya lebih murah. Itu bukan sekadar statistik, tapi soal keadilan mobilitas. KAI, sadar atau tidak, telah menjadi katalis perubahan sosial yang cukup besar di Indonesia.
Masa Depan Mobilitas dan Tugas Baru KAI
KAI sudah berhasil menjadi operator kereta terbaik di Indonesia, bahkan mungkin di Asia Tenggara. Tapi tantangan ke depan jauh lebih rumit. Di era integrasi mobilitas, KAI harus bisa bertransformasi dari operator menjadi orkestrator.
Apa maksudnya? Artinya, KAI harus mulai mengintegrasikan layanan kereta dengan moda lain secara seamless. Bayangkan kamu bisa naik sepeda listrik ke stasiun, lanjut kereta, lalu disambung dengan angkot digital yang datang otomatis sesuai jadwal kedatangan kereta. Semua itu bisa terjadi kalau KAI jadi pemimpin integrasi sistem transportasi nasional.
Selain itu, KAI juga harus mulai berbicara tentang energi. Di tengah tekanan perubahan iklim global, transportasi harus rendah emisi. Elektrifikasi jalur, penggunaan energi terbarukan di stasiun, bahkan kemungkinan kereta hidrogen atau hybrid bisa jadi visi jangka panjang.