Pernahkah kamu duduk di samping anak kecil yang tak bisa lepas dari layar ponselnya? Saat dia tertawa, kesal, bahkan menangis karena kalah di game online bukan karena masalah di dunia nyata. Inilah kenyataan baru yang mungkin terasa asing bagi generasimu, tapi menjadi habitat alami bagi Gen Alpha, anak-anak yang lahir di era setelah 2010. Mereka bukan cuma melek teknologi. Mereka lahir dan besar di dalamnya. Dan ketika dunia virtual mulai menggantikan dunia nyata sebagai ruang hidup mereka, kita harus mulai bertanya apa sebenarnya yang sedang terjadi?
Bukan Salah Game, Tapi Pola Interaksi yang Bergeser
Kecanduan game bukanlah soal salah siapa, melainkan tentang bagaimana realitas anak-anak kita berubah. Generasi sebelumnya punya ruang terbuka untuk bermain dilapangan, jalanan, halaman rumah atau tempat-tempat lain. Tapi Gen Alpha dibesarkan dalam ruang yang makin sempit secara fisik, namun makin luas secara digital. Dunia mereka tidak lagi dibatasi tembok rumah, tapi terbuka lewat server global yang menghubungkan mereka dengan jutaan pemain lain yang punya hobby seperti mereka dalam hitungan detik.
Fenomena game online bukan sekadar soal permainan, melainkan sistem sosial baru dan sedang menggeser kebiasaan dulu. Di dalam game, anak-anak bisa menjadi siapa pun yang mereka mau, lebih kuat, lebih cepat, lebih diakui. Dalam dunia nyata, mungkin mereka merasa biasa saja, bahkan tidak dianggap. Tapi dalam game, mereka punya skor, ranking, guild, dan status. Inilah mengapa kecanduan game bukan hanya ketergantungan pada aktivitas, tapi juga keterikatan emosional terhadap identitas digital.
Dan ketika esports Indonesia berkembang pesat, lengkap dengan turnamen dan influencer yang dikagumi jutaan follower, anak-anak makin terdorong dan termotivasi untuk menganggap game bukan sekadar hiburan, tapi cita-cita dan membuat standar yang harus dilapaui. Sayangnya, cita-cita ini tidak selalu diiringi oleh realitas yang sepadan. Ratusan ribu anak ingin menjadi gamer profesional, padahal hanya segelintir yang benar-benar sampai.
Psikologi Dopamin dan Lingkaran Ketagihan yang Tak Terlihat
Jika kamu pikir kecanduan game cuma soal jadi malas belajar, kamu perlu melihat lebih jauh dan dalam. Ada proses biologis dan psikologis kompleks yang berjalan diam-diam. Game modern dirancang untuk memicu pelepasan dopamin, dopamin sendiri adalah zat kimia otak yang menciptakan rasa senang dan puas. Tiap kemenangan, tiap pencapaian level, tiap item langka semuanya jadi umpan untuk memancing dopamin.
Masalahnya, otak anak belum berkembang sempurna untuk mengatur impuls. Otak mereka belum cukup matang untuk menyeimbangkan antara kesenangan jangka pendek dan konsekuensi jangka panjang. Akibatnya, mereka cenderung mengulangi perilaku yang memberi kepuasan instan kepada mereka, dan lambat laun tanpa sadar sedang membentuk kebiasaan adiktif dan terus mengikat dan membuat kecanduan.
Studi dari Journal of Behavioral Addictions (2023) menunjukkan bahwa anak-anak yang menghabiskan lebih dari 3 jam per hari untuk bermain game memiliki risiko 2 kali lipat lebih tinggi mengalami gangguan fokus, kecemasan sosial, dan gangguan tidur. Namun efek yang paling sulit diukur adalah keretakan relasi antar manusia. Semakin sering anak berada di dunia game, semakin asing dunia nyatanya terasa.
Dunia Nyata yang Kehilangan Daya Saing
Kenapa anak lebih memilih game daripada kehidupan nyata? Karena dunia nyata sering kali tak bisa menandingi kecepatan, sensasi, dan kepuasan instan yang diberikan dari game. Dalam game, setiap usaha langsung terlihat hasilnya. Setiap tantangan punya reward. Sementara di dunia nyata, semuanya butuh waktu, proses, dan kadang tanpa pengakuan sama sekali.
Sekolah tidak lagi terasa menarik. Interaksi sosial terasa rumit. Dan orang tua, yang seharusnya jadi tempat bertanya dan bercerita, kadang justru sibuk dengan ponselnya sendiri. Maka wajar kalau anak-anak kita memilih pelarian ke dunia yang mereka rasa bisa mereka kuasai.
Ini bukan kesalahan game, tapi kegagalan kita dalam membuat dunia nyata tetap relevan bagi mereka. Kita gagal menciptakan tantangan yang bermakna. Kita gagal memberikan ruang eksplorasi. Kita bahkan sering kali mengabaikan prestasi anak hanya karena tidak sesuai standar akademik. Padahal anak-anak Gen Alpha tidak bisa dididik dengan pola lama. Mereka perlu dunia yang dinamis, interaktif, dan responsif seperti game itu sendiri.
Solusi yang Tidak Menggurui dan Tidak Menghakimi
Selama ini pendekatan terhadap kecanduan game sering kali bersifat represif. Game dilarang, anak dimarahi, gawai disita. Tapi hasilnya? Anak justru makin tertutup, makin frustasi, dan akhirnya mencari jalan lain untuk melarikan diri. Pendekatan seperti ini tidak efektif karena tidak menyentuh akar persoalan dan memberi solusi.
Solusi sesungguhnya ada pada rekonstruksi ekosistem digital dan relasi personal. Alih-alih melarang game, kita perlu mengajarkan bagaimana cara menggunakan game dengan sehat. Ajak anak bicara tentang apa yang mereka mainkan. Tanyakan mengapa mereka suka game itu. Jadikan game sebagai jembatan komunikasi, bukan tembok pemisah.
Lalu, bangun kembali dunia nyata yang menarik bagi mereka. Dorong minat di bidang lain, seperti seni, musik, coding, olahraga, atau kegiatan sosial. Buat mereka merasakan bahwa pencapaian di dunia nyata juga bisa memberi rasa bangga. Jangan hanya menuntut mereka menjauhi layar, tapi temani mereka dalam proses menjelajah dunia di luar layar.
Dan yang tak kalah penting, edukasi tentang esports Indonesia juga perlu dibarengi literasi digital dan emosional. Jadikan esports sebagai sarana belajar tentang disiplin, kerjasama, dan sportivitas, bukan sekadar jalan pintas menuju popularitas.
Menyiapkan Generasi Digital yang Kritis dan Manusiawi
Kamu tidak bisa memisahkan Gen Alpha dari teknologi. Tapi kamu bisa membimbing mereka menjadi manusia digital yang kritis dan manusiawi. Jangan hanya mengajari mereka cara mengoperasikan aplikasi, tapi juga ajarkan cara membedakan dunia nyata dan dunia virtual. Jangan hanya membatasi waktu bermain, tapi bantu mereka memahami alasan di balik batasan itu.
Kita perlu menciptakan ruang-ruang dialog yang hangat antara anak dan orang tua. Bukan dialog satu arah yang penuh nasihat, tapi percakapan dua arah yang saling mendengarkan. Kita juga perlu mendorong sekolah untuk lebih adaptif dengan perkembangan zaman memasukkan kurikulum literasi digital yang menyentuh aspek etika, privasi, dan psikologi digital.
Yang lebih penting lagi, kita harus berhenti menganggap Gen Alpha sebagai "korban" dari kemajuan teknologi. Mereka adalah generasi pertama yang hidup penuh di era digital. Tugas kita bukan menyelamatkan mereka dari layar, tapi membantu mereka menjadi tuan atas layar itu sendiri.
Catatan
Tulisan ini menggali kecanduan game dari sisi identitas, relasi sosial, dan kegagalan dunia nyata bersaing dengan dunia digital. Tidak ada solusi instan. Tapi lewat pendekatan yang lebih manusiawi dan relevan, kita bisa menciptakan generasi yang bukan hanya cakap teknologi, tapi juga punya empati, kendali diri, dan kepekaan sosial.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI