Kenapa anak lebih memilih game daripada kehidupan nyata? Karena dunia nyata sering kali tak bisa menandingi kecepatan, sensasi, dan kepuasan instan yang diberikan dari game. Dalam game, setiap usaha langsung terlihat hasilnya. Setiap tantangan punya reward. Sementara di dunia nyata, semuanya butuh waktu, proses, dan kadang tanpa pengakuan sama sekali.
Sekolah tidak lagi terasa menarik. Interaksi sosial terasa rumit. Dan orang tua, yang seharusnya jadi tempat bertanya dan bercerita, kadang justru sibuk dengan ponselnya sendiri. Maka wajar kalau anak-anak kita memilih pelarian ke dunia yang mereka rasa bisa mereka kuasai.
Ini bukan kesalahan game, tapi kegagalan kita dalam membuat dunia nyata tetap relevan bagi mereka. Kita gagal menciptakan tantangan yang bermakna. Kita gagal memberikan ruang eksplorasi. Kita bahkan sering kali mengabaikan prestasi anak hanya karena tidak sesuai standar akademik. Padahal anak-anak Gen Alpha tidak bisa dididik dengan pola lama. Mereka perlu dunia yang dinamis, interaktif, dan responsif seperti game itu sendiri.
Solusi yang Tidak Menggurui dan Tidak Menghakimi
Selama ini pendekatan terhadap kecanduan game sering kali bersifat represif. Game dilarang, anak dimarahi, gawai disita. Tapi hasilnya? Anak justru makin tertutup, makin frustasi, dan akhirnya mencari jalan lain untuk melarikan diri. Pendekatan seperti ini tidak efektif karena tidak menyentuh akar persoalan dan memberi solusi.
Solusi sesungguhnya ada pada rekonstruksi ekosistem digital dan relasi personal. Alih-alih melarang game, kita perlu mengajarkan bagaimana cara menggunakan game dengan sehat. Ajak anak bicara tentang apa yang mereka mainkan. Tanyakan mengapa mereka suka game itu. Jadikan game sebagai jembatan komunikasi, bukan tembok pemisah.
Lalu, bangun kembali dunia nyata yang menarik bagi mereka. Dorong minat di bidang lain, seperti seni, musik, coding, olahraga, atau kegiatan sosial. Buat mereka merasakan bahwa pencapaian di dunia nyata juga bisa memberi rasa bangga. Jangan hanya menuntut mereka menjauhi layar, tapi temani mereka dalam proses menjelajah dunia di luar layar.
Dan yang tak kalah penting, edukasi tentang esports Indonesia juga perlu dibarengi literasi digital dan emosional. Jadikan esports sebagai sarana belajar tentang disiplin, kerjasama, dan sportivitas, bukan sekadar jalan pintas menuju popularitas.
Menyiapkan Generasi Digital yang Kritis dan Manusiawi
Kamu tidak bisa memisahkan Gen Alpha dari teknologi. Tapi kamu bisa membimbing mereka menjadi manusia digital yang kritis dan manusiawi. Jangan hanya mengajari mereka cara mengoperasikan aplikasi, tapi juga ajarkan cara membedakan dunia nyata dan dunia virtual. Jangan hanya membatasi waktu bermain, tapi bantu mereka memahami alasan di balik batasan itu.
Kita perlu menciptakan ruang-ruang dialog yang hangat antara anak dan orang tua. Bukan dialog satu arah yang penuh nasihat, tapi percakapan dua arah yang saling mendengarkan. Kita juga perlu mendorong sekolah untuk lebih adaptif dengan perkembangan zaman memasukkan kurikulum literasi digital yang menyentuh aspek etika, privasi, dan psikologi digital.