Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Bisakah Mewujudkan Layanan Kesehatan yang Adil dan Terjangkau?

23 April 2025   13:35 Diperbarui: 23 April 2025   21:23 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi fasilitas di rumah sakit.(PIXABAY/SASINT)

Kamu mungkin pernah dengar cerita orang tua yang harus jual kambing demi bisa berobat. Atau kisah tetangga yang menolak ke rumah sakit karena takut biaya, padahal kondisinya memburuk dari hari ke hari. 

Di satu sisi, pemerintah mengklaim sudah memberi jaminan kesehatan nasional. Tapi di sisi lain, jutaan orang tetap hidup dalam ketidakpastian akan nasib kesehatannya. Kenapa bisa begini?

Tulisan ini bukan untuk menyalahkan siapa pun. Tapi kita perlu bicara jujur tentang celah, ketimpangan, dan peluang yang belum dimaksimalkan dalam sistem layanan kesehatan kita. 

Karena kalau terus begini, mimpi soal layanan kesehatan yang adil dan terjangkau bakal tetap jadi wacana, bukan kenyataan.

Masalah Fundamentalisme Pusat dalam Kebijakan Kesehatan

Kalau kamu amati, hampir semua kebijakan kesehatan di Indonesia lahir dari "pusat". Jakarta menentukan semuanya dari regulasi sampai alokasi anggaran. Tapi yang sering dilupakan, masalah kesehatan itu sangat lokal. Karakteristik penyakit, pola hidup masyarakat, hingga kondisi geografis antar wilayah sangat berbeda.

Misalnya, di Kalimantan, banyak daerah yang hanya bisa diakses lewat sungai. Tapi pengiriman obat atau tenaga medis masih pakai sistem darat yang lambat dan mahal. 

Sedangkan di NTT, praktik dukun bayi masih tinggi, karena kehadiran bidan sangat terbatas. Ini bukan karena masyarakat tak mau berubah, tapi karena mereka tak diberi pilihan yang lebih baik.

Kita terlalu lama menganggap satu kebijakan bisa mengatasi semua masalah. Padahal, layanan kesehatan seharusnya tumbuh dari kebutuhan lokal. 

Harus ada pendekatan berbasis komunitas yang memberdayakan warga untuk ikut menentukan bentuk layanan kesehatan yang mereka butuhkan. Bukan cuma jadi penerima bantuan, tapi jadi pengelola solusi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun