Kamu mungkin pernah dengar cerita orang tua yang harus jual kambing demi bisa berobat. Atau kisah tetangga yang menolak ke rumah sakit karena takut biaya, padahal kondisinya memburuk dari hari ke hari.Â
Di satu sisi, pemerintah mengklaim sudah memberi jaminan kesehatan nasional. Tapi di sisi lain, jutaan orang tetap hidup dalam ketidakpastian akan nasib kesehatannya. Kenapa bisa begini?
Tulisan ini bukan untuk menyalahkan siapa pun. Tapi kita perlu bicara jujur tentang celah, ketimpangan, dan peluang yang belum dimaksimalkan dalam sistem layanan kesehatan kita.Â
Karena kalau terus begini, mimpi soal layanan kesehatan yang adil dan terjangkau bakal tetap jadi wacana, bukan kenyataan.
Masalah Fundamentalisme Pusat dalam Kebijakan Kesehatan
Kalau kamu amati, hampir semua kebijakan kesehatan di Indonesia lahir dari "pusat". Jakarta menentukan semuanya dari regulasi sampai alokasi anggaran. Tapi yang sering dilupakan, masalah kesehatan itu sangat lokal. Karakteristik penyakit, pola hidup masyarakat, hingga kondisi geografis antar wilayah sangat berbeda.
Misalnya, di Kalimantan, banyak daerah yang hanya bisa diakses lewat sungai. Tapi pengiriman obat atau tenaga medis masih pakai sistem darat yang lambat dan mahal.Â
Sedangkan di NTT, praktik dukun bayi masih tinggi, karena kehadiran bidan sangat terbatas. Ini bukan karena masyarakat tak mau berubah, tapi karena mereka tak diberi pilihan yang lebih baik.
Kita terlalu lama menganggap satu kebijakan bisa mengatasi semua masalah. Padahal, layanan kesehatan seharusnya tumbuh dari kebutuhan lokal.Â
Harus ada pendekatan berbasis komunitas yang memberdayakan warga untuk ikut menentukan bentuk layanan kesehatan yang mereka butuhkan. Bukan cuma jadi penerima bantuan, tapi jadi pengelola solusi.