Kalau kamu sempat scrolling media sosial belakangan ini, mungkin sudah tidak asing lagi dengan istilah "brainrot".Â
Kata ini sering muncul untuk menggambarkan betapa cepat dan intens seseorang bisa terobsesi dengan satu hal  entah itu karakter fiksi, video game, musik, atau bahkan tren absurd di internet.Â
Uniknya, fenomena brainrot ini paling banyak muncul di kalangan Gen Alpha, generasi yang lahir dalam dekapan teknologi sejak hari pertama mereka bernapas di dunia.
Namun, brainrot bukan cuma sekadar "lagi suka banget sama sesuatu". Ada proses yang lebih dalam terjadi di balik layar kebiasaan ini. Lalu kenapa Gen Alpha rentan mengalaminya, dan seberapa besar dampaknya terhadap masa depan mereka. Siap untuk melihat realita di balik layar gadget yang setiap hari ada di genggaman kita?.
Mengurai Makna Brainrot dalam Dunia Digital
Istilah brainrot sebenarnya berasal dari gabungan dua kata: "brain" (otak) dan "rot" (membusuk). Secara harfiah, brainrot menggambarkan kondisi otak yang "membusuk" atau mengalami kemunduran fungsi akibat sesuatu. Dalam konteks modern, istilah ini mengalami perluasan makna.Â
Brainrot kini digunakan untuk mendeskripsikan keadaan ketika otak seseorang begitu dipenuhi oleh satu bentuk hiburan atau informasi, hingga mengganggu keseharian, pola pikir, bahkan prioritas hidupnya.
Pada generasi sebelumnya, keterikatan emosional terhadap sesuatu memang sudah ada. Misalnya, anak-anak tahun 90-an begitu tergila-gila dengan kartun atau boyband. Tapi perbedaannya, intensitas dan frekuensinya jauh lebih moderat dibandingkan saat ini.Â
Gen Alpha hidup dalam dunia hiper-terhubung, di mana akses terhadap konten terjadi dalam sekejap mata. Setiap scroll di ponsel membawa ledakan dopamin mini yang seakan-akan memberi "hadiah" kecil pada otak.Â