Ada satu momen yang begitu dinanti sepanjang tahun: pulang kampung saat Lebaran. Di sanalah rindu yang lama tertahan akhirnya menemukan tempat untuk pulang. Suasana desa, senyum tulus ibu di depan pintu, obrolan ringan di ruang tamu yang dulu terasa sempit, kini seolah menjadi tempat paling nyaman di dunia. Tapi ketika hari mulai berlalu dan koper mulai ditutup kembali, ada perasaan ganjil yang muncul: hati ini berat, kenapa ya?
Kamu mungkin pernah merasakannya. Momen ketika kereta mulai berjalan menjauh dari stasiun kampung halaman, atau saat mobil mulai melewati gapura desa tempat masa kecilmu tumbuh. Perasaan itu hadir diam-diam. Tidak selalu ditunjukkan dengan tangisan, tapi cukup terasa sebagai beban di dada. Ada kerinduan yang belum selesai. Ada kenyamanan yang belum rela dilepas. Dan anehnya, perasaan ini begitu jamak terjadi, seolah menjadi bagian dari ritual pasca-Lebaran. Tapi, pernahkah kamu benar-benar bertanya, kenapa hati terasa seberat itu?
Kembali ke Realita Perpindahan Emosional yang Tidak Mudah
Setiap manusia butuh jeda. Jeda dari rutinitas yang melelahkan, dari kota yang sibuk, dari pekerjaan yang kadang terasa seperti robotik. Lebaran memberi kita ruang untuk itu. Bukan sekadar libur panjang, tapi juga ruang emosional untuk menyentuh kembali akar diri kita. Saat pulang ke kampung, kita tak hanya kembali ke tempat, tapi juga ke siapa diri kita yang sebenarnya diri yang lebih sederhana, lebih hangat, lebih manusiawi.
Kembali ke kota artinya kembali ke semua tekanan. Jam kerja, target, macet, hingga kesibukan yang tidak memberi waktu untuk menoleh ke dalam diri sendiri. Dalam psikologi, ini dikenal sebagai transisi lingkungan sosial dan emosional yang ekstrem. Kita berpindah dari zona nyaman baik secara emosional maupun spiritual ke tempat yang lebih 'keras' secara mental. Proses ini membuat tubuh dan pikiran butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Tapi di tengah tuntutan hidup, waktu itu tidak selalu tersedia. Maka muncullah rasa 'berat hati' itu. Ia bukan sekadar rindu, tapi juga kegagapan menghadapi perubahan drastis yang belum sempat dicerna.
Kehangatan yang Sulit Ditemui di Kota
Pulang kampung saat Lebaran menyadarkan kita satu hal penting: manusia butuh hubungan sosial yang tulus. Di kampung, interaksi tidak serumit di kota. Orang menyapa dengan hangat, tetangga datang tanpa undangan, dan keluarga berkumpul tanpa perlu alasan. Ini memberikan rasa aman secara emosional yang kadang sulit didapatkan di kota besar.
Di kota, kita cenderung hidup individualistis. Wajah-wajah asing di kereta atau lift kantor, sapaan basa-basi yang terasa kaku, hingga kesibukan yang membuat hubungan antar manusia menjadi sekadar formalitas. Ketika kita kembali ke kota, kita kehilangan itu semua. Dan kehilangan kehangatan itu membuat hati terasa lebih sepi, bahkan saat kita dikelilingi banyak orang.
Lebih dari itu, bagi banyak orang perantau, kampung halaman bukan hanya tempat tinggal ia adalah cermin identitas. Di sanalah kita dikenal sebagai 'anak Pak Haji' atau 'keponakan Bu RT', bukan sebagai karyawan, bos, atau gelar lainnya. Identitas itu terasa lebih personal, lebih membumi. Maka saat kita kembali, kita merasa sedang 'meninggalkan diri sendiri, diri yang lebih otentik dan apa adanya.
Ketakutan Tak Terucap Waktu yang Terus Bergerak