Mohon tunggu...
Nufransa Wira Sakti
Nufransa Wira Sakti Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

" Live your life with love " --Frans--

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pemilu: Mengapa Banyak yang Tidak Peduli?

22 Maret 2014   02:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:38 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Pemilihan Umum telah memanggil kita
Seluruh rakyat menyambut gembira
Hak demokrasi Pancasila
Hikmah Indonesia merdeka"

Begitulah potongan lagu mars Pemilu di masa Orde Baru. Bagaimana dengan Pemilu 2014? Rasanya belum ada genderang nyaring yang menyuarakan tentang pemilu, lebih banyak iklan dan mars partai peserta pemilu. Padahal sebagian besar rakyat kita masih banyak yang tidak peduli dengan pemilu. Terbukti, tahun 2009, jumlah Golput mengalahkan jumlah perolehan suara partai pemenang pemilu 2009. Kenapa banyak yang tidak peduli?

Beberapa hal penting dapat dijadikan catatan tentang pola kepartaian dan kinerja legislator kita yang sangat perlu untuk diperbaiki:

Yang pertama, para anggota legislatif lebih sebagai wakil partai, bukan wakil rakyat. Contohnya ketika anggota dewan berseberangan keputusan (bahkan mungkin keputusan tersebut adalah yang terbaik untuk rakyat yang memilihnya), maka dengan tanpa ragu partai akan mengganti alias memecat anggota dewan tersebut. Lalu bagaimana nasib suara yang sudah kita berikan kepadanya? Contoh lainnya adalah kebalikannya, ketika kita memilih yang dianggap caleg terbaik dan kemudian dia terpilih. Tapi setelah menjadi anggota dewan, tidak ada kebijakan yang dapat anggap bermanfaat bagi konstituen karena semua putusan kebijakan harus sesuai dengan kebijakan partai.

Yang kedua, banyak caleg yang bukan berasal dari tempat domisilinya, bagaimana caleg dapat merasakan aspirasi dari konstituen? Banyak caleg DPR yang ditunjuk oleh partai untuk mewakili daerah-daerah yang belum pernah sama sekali dikunjunginya. Penunjukkan hanya berdasarkan bagi-bagi jatah supaya semua loyalis partai kebagian menjadi caleg. Mereka hanya “dikenal” melalui poster, spanduk dan stiker menjelang pemilu. Ketika menjelang pemilu, barulah berbondong-bondong berkunjung. Bahkan setelah menjadi anggota dewanpun banyak yang lupa pada konstituennya.

Yang ketiga, banyak caleg yang hanya mencari pekerjaan melalui adu nasib dengan mencoba-coba jadi caleg. Para caleg tipe ini bermacam-macam. Ada yang baru jadi anggota partai langsung dicalonkan hanya karena dianggap bisa menjadi vote getter melalui popularitasnya. Contohnya adalah para selebritas seperti artis top, penyanyi terkenal dan bintang sinetron. Ada juga caleg yang meloncat ke partai lain karena sudah ada tanda-tanda tidak bakal dicalonkan oleh partainya. Tanpa malu-malu, terkadang mereka pindah ke partai yang dullu pernah dikritiknya. Ada juga pengusaha berduit yang dengan kemampuan finansialnya menyumbang sesuatu sehingga dicalonkan partai. Mestinya ada aturan untuk menjadi caleg dari partai untuk mencegah hal ini. Misalnya minimal sudah menjadi anggota partai selama tiga tahun agar memahami tujuan, ideologi dan seluk beluk partai.

Yang keempat, banyak anggota dewan yang terlibat korupsi. Memang tidak semuanya, tapi sistem pengelolaan DPR sangat memungkinkan dan menggoda orang untuk melakukannya. Orang baik sekalipun akan mudah tergoda oleh uang dan kekuasaan. Sistem mana yang harus diubah? Titik paling rawan adalah mekanisme persetujuan anggaran pemerintah oleh DPR. Semua prosedur wajib dibuat transparan oleh semua pihak yang terkait. Tujuannya agar rakyat dapat ikut mengawasi. Diikuti selanjutnya oleh sistem pemilihan anggota instansi tertentu yang harus disetujui DPR. Misalnya pemilihan hakim agung, kapolri, OJK, dewan gubernur BI, duta besar dan pemilihan lainnya yang harus direstui DPR. Sistem ini membuat peluang terjadinya negosiasi baik berupa uang maupun kelunakan kebijakan yang menguntungkan kelompok tertentu bila nantinya terpilih.

Yang kelima, banyak anggota dewan yang rajin bolos atau cuma mengisi daftar hadir. Setelah begitu sering pemberitaan bolosnya anggota dewan, tidak ada satupun mekanisme yang mengawasi kehadiran anggota dewan. Jangan berharap banyak tentang solusi kalau sistem pengawasan dan hukumannya tidak ada. Sistem pengawasan ini harus transparan dan bisa diakses oleh masyarakat.

Lima contoh di atas adalah sedikit dari penyebab mengapa orang banyak yang tidak peduli atau menjadi golput. Perlu ada perbaikan agar rakyat lebih percaya kepada sistem demokrasi kita.

Saya cinta negeri ini dan ingin Indonesia menjadi lebih baik!
Frans

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun