Mohon tunggu...
Gregorius Nyaming
Gregorius Nyaming Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Hanya seorang anak peladang

Seorang Pastor Katolik yang mengabdikan hidupnya untuk Keuskupan Sintang. Sedang menempuh studi di Universitas Katolik St. Yohanes Paulus II Lublin, Polandia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tentang Relasi Kebudayaan Manusia dan Karya Misi Gereja Katolik

27 November 2021   16:33 Diperbarui: 27 November 2021   16:40 1389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Mgr. Agus, Pr dan Mgr. Samuel, OFM.Cap saat Misa Inkulturasi untuk Pembukaan Upacara Adat Dange di Suku Dayak Kayaan. Sumber: kap.or.id

"Masalah yang dialami para misionaris Katolik ialah mereka menggaruk di tempat yang tidak gatal" -- Jacob A. Loewen

"Seorang pewarta Injil yang baik itu bukanlah seorang pengkhotbah yang baik, melainkan seorang pendengar yang baik" - Louis J. Luzbetak

"Budaya adalah bagian eksistensi bangsa. Keragaman budaya Indonesia pernyataan kemajemukan bangsa. Nilai kemajemukan budaya yang dihidupi dalam keseharian. Penulis artikel budaya, meski lelah jangan menyerah. Pegiat seni budaya mari semakin berkarya. Mensyukuri berkat kemerdekaan melalui karya budaya" (Suprihati, K 19/08/2021).

Pernyataan Ibu Suprihati bahwa keragaman budaya Indonesia merupakan pernyataan kemajemukan bangsa adalah sebuah kebenaran yang takterbantahkan. Karena itu pulalah artikel-artikel yang saya tulis kebanyakan berbicara tentang kebudayaan suku Dayak. Meski lingkup pembahasannya lebih banyak tentang subsuku Dayak Desa, namun rasanya sudah cukup melukiskan kulturalitas-religiositas suku Dayak secara umum.

Tujuan saya menghadirkan artikel tentang budaya Dayak juga sebagai upaya untuk menunjukkan betapa beragamnya budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Akan tetapi, sebagai seorang gembala umat (pelayan pastoral), saya menjadikan kebudayaan, yang oleh Louis J. Luzbetak diartikan sebagai pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan beberapa bakat dan kebiasaan yang diperoleh seseorang sebagai anggota masyarakat, sebagai tempat,  meminjam kata-kata Stephen B. Bevans, untuk menemukan pewahyuan dan penyataan diri Allah yang tersembunyi dalam nilai-nilai, pola-pola relasional dan keprihatinan-keprihatinan dari sebuah konteks.

Dijadikannya kebudayaan manusia sebagai tempat untuk menemukan pewahyuan diri Allah selaras dengan apa yang menjadi sikap misioner Gereja Katolik yang mulai dengan cita rasa menghargai secara mendalam "apa yang ada pada manusia". Oleh Gereja, "apa yang ada pada manusia" (kodrat manusia dan konteks kehidupannya) itu dipandang baik, kudus dan bernilai.  

Pengalaman Perjumpaan dengan Budaya Jawa

Pengalaman perjumpaan saya dengan budaya Jawa merupakan salah satu faktor yang mendorong saya untuk bergiat menggarap dan menggali kekayaan budaya Dayak.

Saya pernah enam tahun mengembara di tanah Jawa, tepatnya di Kota Malang, dalam rangka melanjutkan pendidikan ke Seminari Tinggi. Sebuah masa di mana saya sungguh diperkaya dalam pengalaman dan pengetahuan. Dengan menghayati peribahasa "Di mana bumi dipijak, di situ langit di junjung", dari hari ke hari saya semakin dibuat jatuh hati dan terpesona dengan budaya Jawa.

Wayang merupakan salah satu warisan budaya Jawa yang membuat saya terkesima karena ada begitu banyak falsafah hidup yang terkandung di dalamnya. Saya bisa mengetahuinya karena tema-tema seputar pewayangan menjadi bahan diskusi kami di bangku kuliah.

Saya semakin dibuat terkagum-kagum ketika mengetahui ada beberapa Romo yang menjadikan wayang sebagai media pewartaan iman Katolik. Sebuah upaya yang sungguh sangat kontekstual karena menggunakan media yang akrab dan dekat dengan kehidupan umat.

Saya memang sudah sepatutnya bersyukur boleh menginjakkan kaki di tanah Jawa. Akan tetapi, pada waktu itu saya juga menyadari kalau keberadaan saya di tanah Jawa tidak untuk selamanya. Bila masanya sudah tiba, saya akan kembali ke tanah Kalimantan untuk melayani umat yang dalam cara berpikir dan bertindak boleh dibilang berbeda jauh dengan saudara-saudari yang ada di tanah Jawa.

Ya. Setelah enam tahun lamanya berjuang, saya pun akhirnya kembali ke bumi Kalimantan. Sebuah pulau yang dihuni oleh ratusan subsuku Dayak yang dalam tradisi, bahasa dan adat istiadat memiliki cukup banyak perbedaan.

Ambil sebagai contoh bagaimana mereka mengucapkan kata "makan" dalam bahasanya masing-masing. Mereka yang masuk dalam rumpun Ibanik menyebutnya "makai", dalam suku Uud Danum "kuman", "nyogak" dalam suku Kebahan dan Undau, "angkan" dalam suku Taman Ambaloh, dan seterusnya.

Perbedaan tersebut merupakan sebuah kekayaan, tapi pada saat yang sama juga mau mengatakan bahwa tidak ada yang namanya pendekatan universal terhadap suku Dayak. Dengan kata lain, model pendekatan terhadap suku Dayak A tidak bisa selalu digunakan terhadap suku Dayak B.

Di Keuskupan Sintang, suku Dayak tersebar di tiga Kabupaten: Sintang, Melawi dan Kapuas Hulu. Mereka semua adalah orang Dayak. Namun, dalam hal watak dan cara pandang kadangkala berbeda satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, pendekatan terhadap mereka tidak bisa disamaratakan.

Terhadap Eksistensi Budaya Lokal, Bagaimana Sikap Gereja Keuskupan Sintang?

Satu kenyataan yang tak bisa dipungkiri ialah Gereja Keuskupan Sintang (selanjutnya disingkat KeSi) itu hidup, bergerak dan ada di tengah sebuah konteks budaya lokal. Atau kalau ingin menyebutnya lebih spesifik lagi, suku Dayak itulah budaya lokal yang dimaksudkan.

Gereja KeSi harus menyadari betul kenyataan ini. Sebab, di tengah konteks budaya lokal inilah ia menghayati identitas diri dan perutusannya, yakni untuk mewujudkan citra ilahi dan menghadirkan kerajaan Allah.

Gerak hidup manusia Dayak itu hampir selalu diwarnai oleh ritual dan upacara adat. Saat kelahiran, mandi pertama kali di sungai, saat menanjak dewasa, saat ada orang sakit, menikah, kematian, kegiatan terkait perladangan, pesta-pesta adat, pembangunan rumah, masuk rumah baru, dan lain-lain, selalu ada ritual-ritual khusus yang dilakukan.

Dalam kesempatan-kesempatan tersebut Gereja selalu berusaha menghadirkan dan melibatkan dirinya untuk memberikan berkat dan peneguhan kepada umat.

Dalam menghayati identitas dan perutusannya di tengah kenyataan tersebut di atas, Gereja kerap kali menjumpai berbagai tantangan dan rintangan. Terlebih dalam mewartakan Yesus Kristus sebagai Sang Juruselamat dunia di tengah suku Dayak yang masih memegang teguh tradisi dan budaya sebagai warisan dari nenek moyang mereka.

Perjumpaan tersebut, meski seringkali menimbulkan ketegangan, kesulitan dan tantangan, tidak kemudian membuat Gereja tergesa-gesa menyimpulkan bahwa tradisi, budaya dan adat-istiadat orang Dayak itu jelek adanya. Oleh karena itu harus dibuang dan ditinggalkan.

Pengalaman sering mengajarkan kalau umat akan merasa tersinggung dan sakit hati. Beberapa bahkan tidak mau lagi datang ke gereja, ketika tanpa ada penjelasan yang memadai dan memuaskan, Gereja melarang mereka untuk tidak lagi mempraktekkan tradisi dan adat istiadat yang telah mereka warisi dari para leluhur.

Tentu bukanlah menjadi sifat dari keibuan Gereja yang sampai hati melukai hati anak-anaknya. Bahkan sampai hati membuat mereka menjauh dari padanya.

Sadar bahwa ragam tradisi dan budaya manusia sungguh dapat menjadi medan pewartaan bagi Gereja, KeSi pun memasukkan dengan jelas eksistensi budaya setempat dalam rumusan visi Arah Dasarnya (Ardas).

Sekadar untuk diketahui, ardas merupakan pedoman karya pastoral (road map) bagi sebuah Keuskupan. Dia menjadi elemen yang sangat penting bagi tumbuh kembang sebuah Keuskupan. Menjadi penting karena dengan memiliki ardas seluruh kegiatan pastoral akan berpijak pada visi-misi yang jelas, fokus dan terukur. Karya pastoral, dengan begitu, akan menjadi efektif dan efisien.

Setiap Keuskupan di Indonesia (ada 37 Keuskupan) memiliki ardas-nya masing-masing yang perumusan visi-misinya disesuaikan dengan konteks kebutuhan dan keprihatinan Keuskupan. Dan juga disesuaikan dengan apa yang menjadi cita-cita, perhatian dan keprihatinan bangsa Indonesia (100 % Katolik, 100 % Indonesia).

Berikut rumusan-rumusan visi ardas Keuskupan yang di dalamnya dengan jelas memasukkan eksistensi budaya setempat:

1998-2000:

Gereja Keuskupan Sintang sebagai persekutuan umat Allah yang tumbuh dan berkembang di tengah adat istiadat, budaya setempat dan arus globalisasi, mengikuti Yesus Kristus dengan beriman mendalam, mandiri dan memasyarakat, mendunia dan misioner.

 

2002-2006:

Umat Allah Keuskupan Sintang dalam bimbingan Roh Kudus bercita-cita mengikuti Yesus Kristus dengan beriman mendalam dan mandiri, mewujudkan citra ilahi di tengah arus globalisasi, budaya dan adat istiadat setempat untuk menghadirkan Kerajaan Allah.

 

2007-2011:

Umat Allah Keuskupan Sintang dalam bimbingan Roh Kudus bercita-cita mengikuti Yesus Kristus dengan beriman mendalam dan mandiri, mewujudkan citra ilahi di tengah arus globalisasi, budaya dan adat istiadat setempat untuk menghadirkan Kerajaan Allah.

 

Akan tetapi, dalam kedua rumusan visi ardas yang terakhir Gereja KeSi seakan mengabaikan eksistensi dari budaya dan adat istiadat setempat:

2012-2016:

Gereja Keuskupan Sintang adalah komunitas kaum beriman akan Yesus Kristus, yang dinamis dan terlibat aktif dalam mewujudkan tugas perutusannya untuk memulihkan martabat manusia dan keutuhan ciptaan.

 

2017-2021:

Gereja Katolik Keuskupan Sintang, sebagai persekutuan umat Allah, bercita-cita membangun kerajaan Allah, dalam hidup menggereja dan bermasyarakat, melalui tugas perutusan sebagai nabi, imam, dan raja, demi keselamatan manusia.

 

Sungguh agak disayangkan memang. Namun, hal tersebut dapat dipahami karena Gereja KeSi hendak menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman yang senantiasa berubah tanpa harus kehilangan jati dirinya. Semangat penyesuaian inilah yang kiranya kemudian menjadikan setiap rumusan ardas Keuskupan memiliki kekhasan dan penekanannya masing-masing.

Gereja memang sudah seharusnya menyesuaikan diri dengan situasi yang beraneka ragam dan berubah-ubah. Namun ada satu hal yang mesti diingat, yakni penyesuaian itu terjadi dalam sebuah konteks budaya lokal. Karena itu, hemat saya sudah seharusnya juga Gereja tak pernah boleh mengabaikan keberadaan konteks tersebut yang menjadi tempat baginya untuk bertumbuh dan berkembang.

 

Alasannya, karena Warta Gembira tentang Kristus dan kebudayaan manusia itu mempunyai relasi yang sangat erat.

Mengapa Kebudayaan Manusia itu Penting bagi Misi Gereja?

Bagaimana memosisikan atau memperlakukan tradisi dan budaya manusia dalam misi dan pewartaannya, setiap agama mempunyai sikap dan pandangan yang berbeda.

Rekan Kompasianer Neno Anderias Salukh dalam artikelnya Uem Le'u dan Proses Kristenisasi di Pedalaman Timor (K, 20/11/2021) mengatakan ketika kekristenan masuk ke Pulau Timor, khususnya di pedalaman Amanuban pada tahun 1965, para tokoh agama berperan sebagai aktor penting dalam pemusnahan rumah suci beserta dengan benda-benda yang diwariskan nenek moyang sebagai simbol kesatuan hidup bersama seluruh anggota komunitas. Bahkan rambut panjang laki-laki Timor dipotong secara paksa.

Masih dalam artikel yang sama, rekan Neno, dengan merujuk kepada beberapa penilitian etnografi berpendirian bahwa kekristenan berpengaruh besar terhadap hilangnya warisan-warisan budaya benda maupun tak benda di Indonesia, secara khusus di wilayah dominasi Kristen Protestan.

Sikap dan pandangan Gereja Katolik bagaimana?

Dengan meneladan Yesus sendiri, Gereja Katolik dalam karya misinya menaruh hormat yang tinggi terhadap budaya manusia. Gereja Katolik berkeyakinan bahwa ragam tradisi dan budaya manusia sungguh dapat menjadi medan dalam menyebarluaskan dan menguraikan pewartaan tentang Kristus.

Apa yang hendak diteladan Gereja dari Yesus dalam perjumpaannya dengan kebudayaan lokal ialah sikap dialog yang jujur dan sabar. Dalam dokumen Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja (Ad Gentes), Konsili Vatikan II menandaskan: "Kristus sendiri menyelami hati sesama-Nya dan melalui percakapan yang sungguh manusiawi mengantar mereka kepada terang Ilahi. Begitu pula hendaklah para murid-Nya, yang secara mendalam diresapi oleh Roh Kristus, memahami sesama di lingkungan mereka dan bergaul dengan mereka sehingga berkat dialog yang jujur dan sabar itu mereka makin mengetahui harta-kekayaan manakah yang oleh Allah dalam kemurahan-Nya telah dibagikan kepada para bangsa. Serta merta hendaklah mereka berusaha menilai kekayaan itu dalam cahaya Injil, membebaskannya, dan mengembalikannya kepada kekuasaan Allah Penyelamat" (art. 11)

Sementara itu, berkaitan dengan pentingnya kebudayaan manusia dalam tugas pewartaan Gereja ditandaskan oleh Konsili Vatikan II dalam dokumen Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini (Gaudium et Spes) dikatakan: "Sebab Allah, yang mewahyukan diri-Nya sepenuhnya dalam Putra-Nya yang menjelma, telah bersabda menurut kebudayaan yang khas bagi pelbagai zaman. Aneka ragam budaya manusia sungguh dapat menjadi medan pewartaan Gereja menyebarluaskan dan menguraikan pewartaan tentang Kristus, untuk menggali dan semakin menyelaminya, serta untuk mengungkapkannya secara lebih baik dalam perayaan liturgi dan dalam kehidupan jemaat beriman yang beraneka ragam" (art. 58).

Dalam konteks Asia, dan Indonesia pada khususnya, Gereja Katolik menandaskan bahwa triple-dialog dengan tiga realitas utama kehidupan Asia merupakan perwujudan nyata dari misi perutusan Gereja di Asia, yakni dialog dengan tradisi keagamaan lain, budaya-budaya lokal dan kemiskinan.

Akhir Kata

Dengan mengharapkan agar dalam karya misinya Gereja Keuskupan Sintang tidak boleh mengabaikan budaya dan adat istiadat setempat, sama sekali tak ada niatan dalam diri saya untuk menjadikan Gereja Keuskupan Sintang sepenuhnya berwajah Dayak. Jika itu yang saya niatkan, maka sudah dengan sendirinya saya mengingkari mimpi dan cita-cita ardas, yakni menghadirkan Gereja sebagai persekutuan umat Allah (communio).  

Apalagi bila melihat fakta di lapangan di mana masih ada suku-suku lain, seperti Tionghoa, Jawa, Flores, Batak, yang ada di Keuskupan Sintang. Mereka semua adalah umat Allah, yang dengan caranya masing-masing sudah memberikan kontribusi bagi pertumbuhan dan perkembangan Gereja Keuskupan Sintang.

Mengimpikan bahwa Gereja Keuskupan Sintang itu harus berwajah Dayak rasanya hanya akan merusak communio antarumat yang sejauh ini sudah terjalin dengan baik. Kebersamaan suku Dayak dengan suku-suku lain justru dapat menjadi usaha pengembangan Komunitas Basis Kristiani, yang oleh Paus Yohanes Paulus II dipandang sebagai titik berangkat yang solid untuk membangun sebuah tatanan hidup yang baru yang didasarkan pada "peradaban cinta".

Selain itu, dengan mengharapakan agar Gereja Keuskupan Sintang dalam karya misinya mau membuka diri memahami dan mendalami budaya lokal, bertujuan agar ditemukannya model katekese yang kontekstual.

Katekese yang kontekstual, baik dalam metode, sarana, juga dalam isinya, akan menjadikan katekese itu sendiri efektif dan tepat sasaran. Tujuannya tiada lain agar terjadinya transmisi iman yang diwariskan turun temurun oleh Gereja, serta terjadinya transformasi hidup dalam diri jemaat beriman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun