Dengan ditolaknya eksistensi Allah, maka tempat kosong yang ditinggalkan Allah sekarang diisi oleh manusia. Hal ini menghantar pada sebuah keyakinan awal abad modern bahwa manusialah yang akan membawa sejarah menuju akhir yang sempurna. Manusia modernlah dengan segala kemampuan teknisnya akan menghapuskan segala bentuk penderitaan.
Pertanyaannya, pakah manusia berhasil membawa sejarah pada akhir yang sempurna? Apakah segala bentuk penderitaan sudah lenyap dari muka bumi ini? Di mata Metz, peradaban modern yang semula menjanjikan emansipasi dan kemajuan rupanya merupakan ilusi belaka.
Meski tidak menampik adanya peningkatan kualitas hidup berkat kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, teknik dan ekonomi, Metz juga tidak menutup mata terhadap banyaknya sisi buruk dari modernisme. Kerusakan alam, ketidakadilan sosial, makin melebarnya jurang antara negara kaya dan miskin, konflik, merupakan beberapa contoh dari sisi negatif tersebut.
Lantas, siapa yang harus bertanggung jawab dengan segala bentuk penderitaan, bencana, malapetaka yang muncul karena kegagalan proyek modern tersebut? Apakah Allah? Jelas tidak mungkin. Eksistensinya sudah terang-terangan ditolak oleh manusia modern. Kalau begitu apakah manusia yang harus bertanggung jawab? Seharusnya.
Sayangnya, manusia kerap kali menolak untuk bertanggung jawab terhadap penderitaan yang menyertai kemajuan yang diperoleh melalui teknik dan industrialisasi. Kita sering menyaksikan ada tendensi di mana manusia selalu berupaya memaafkan diri atas segala penderitaan yang terjadi.
Pada poin itulah, Metz lewat gagasan memoria passionis-nya, ingin melontarkan kritik terhadap proyek modern yang begitu ambisius. Menurutnya, atas nama kemajuan/masa depan yang lebih baik, peradaban modern justru mengabaikan penderitaan umat manusia.
Dengan memoria passionis-nya, Metz ingin agar sejarah tidak hanya dipandang dari perspektif mereka yang biasa disebut sebagai pemenang dalam sejarah. Secara khusus terhadap agama Kristen - dan saya kira juga berlaku untuk agama-gama lainnya - Metz mengingatkan agar harapan akan masa depan tidak boleh menutup mata atau melupakan beban sejarah penderitaan dunia.Â
Dalam konteks bangsa kita yang multi agama, gagasan memoria passionis Metz rasanya sangat relevan. Kita sering menyaksikan di mana perkara surga seringkali menimbulkan ketegangan antar sesama anak bangsa.
Ketegangan itu muncul karena ada pihak yang mengklaim diri sebagai pemilik yang sah atas surga. Sebagai akibatnya, orang lain yang berada di luar golongan mereka dipandang tidak layak untuk menjadi penghuni surga. Karena itu, harus disingkirkan.
Bertemunya Hari Raya Idul Fitri dan Kenaikan Isa Almasih sejatinya mau mengajak kita untuk rela memandang wajah mereka yang berlainan dengan kita dengan penuh kasih. Juga mau mengajak kita  untuk bergandengan tangan dan berjalan beriringan, dengan tetap saling menghargai dan menghormati, dalam jalan menuju tanah air surgawi.
Salam kasih dan persaudaraan.
GN, Polandia, 16 Mei 2021
Sumber bacaan: Adrianus Sunarko, Teologi Kontekstual, (Jakarta: Obor, 2016).