Mendengarkan dan mencintai
Jika seseorang telah sampai pada proses mendengarkan yang sungguh-sungguh, sebenarnya ia telah sampai pada menumbuh-kembangkan cinta di dalam hatinya. Dan, ia tidak akan segan-segan berbagi cinta itu.
Dalam suatu komunikasi, diperlukan seni seperti ini: "komunikasi dari heart to heart" yang menciptakan kedekatan, bukan sekadar karena relasi emosional, melainkan karena cinta universal (tanpa batas dan sekat).
Logis memang, bagaimana orang bisa jatuh cinta (fall in love). Orang jatuh cinta karena hatinya tersentuh oleh manisnya sapaan orang lain, dalamnya komunikasi, dan kuatnya cinta yang disalurkan. Sebab, hati telah terlibat dan dilibatkan dalam jalinan komunikasi tersebut.
Sebaliknya, cinta tidak akan mengalir, apabila hati tidak tersentuh, hati tidak terbuka, dan hati menolak orang lain. Agustinus dari Hippo (filsuf dan teolog Kristen awal yang hidup pada 354-430 Masehi) berusaha mendorong banyak orang untuk melatih "hati yang mendengarkan" (corde audire):
Jangan menaruh hatimu di telinga, tetapi taruhlah telinga di hatimu!
Syarat komunikasi
Sejauh ini, cukup terang dan jelas maksud Paus Fransiskus. Selain itu, ada jenis pendengaran yang sungguh tidak mendengarkan, yaitu menguping. Bagi Paus, kegiatan ini merupakan tindakan memata-matai, mengeksploitasi orang lain, dan mencari titik serang kelemahan orang lain.
Maka, tak heran, orang yang menguping akan membicarakan keburukan orang lain. Dengan menguping, sebenarnya komunikasi yang sehat dan baik ditekan.
Menguping dapat dilawan dengan mendengarkan. Agar, komunikasi dan dialog terjalin dengan baik.Â
Manusia zaman sekarang, menurut Paus Fransiskus perlu melatih diri untuk mendengarkan dalam waktu lama. Agar, dapat memberikan informasi yang padat, seimbang, lengkap, dan sesuai dengan fakta.