Mohon tunggu...
Arah Waktu
Arah Waktu Mohon Tunggu... wiraswasta

Wiraswasta | Penggagas Ide | Pelaku Usaha Mandiri Berpengalaman mengembangkan usaha dari nol, berfokus pada solusi kreatif dan inovatif untuk kebutuhan sehari-hari. Percaya bahwa setiap tantangan adalah peluang untuk tumbuh.

Selanjutnya

Tutup

Makassar

Darah di Jalan, Api di Gedung DPRD: Pertandan 2030 Bukan Lagi Ramalan

30 Agustus 2025   16:41 Diperbarui: 30 Agustus 2025   16:41 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia hari ini bukan lagi sekadar panggung yang meriah dengan bendera berkibar, musik dangdut di setiap hajatan politik, dan jargon manis tentang masa depan yang konon gemilang. Indonesia hari ini adalah asap hitam yang naik dari gedung DPRD yang terbakar di Makassar. Indonesia hari ini adalah darah di jalanan yang menetes dari tubuh seorang anak bangsa bernama Affan, yang tewas begitu saja di tengah ketidakadilan yang disambut dengan dingin. Indonesia hari ini adalah ribuan orang yang turun ke jalan, bukan untuk berpesta demokrasi, melainkan untuk berteriak, untuk melepaskan amarah yang sudah terlalu lama disumbat. Apa yang pernah ditulis sebagai potensi bubarnya republik pada tahun 2030, kini tidak lagi terdengar seperti ramalan kosong. Ia perlahan menjelma menjadi potret keseharian yang kita lihat, dengar, dan hirup lewat udara penuh asap.

Api yang melalap gedung DPRD Makassar bukan sekadar kebakaran biasa. Ia adalah simbol yang lebih dalam, sebuah metafora dari buku lama yang sudah usang halamannya: republik ini terus membakar dirinya sendiri. Seperti yang ditulis dalam Republik Rapuh, bangsa ini sibuk mengecat dinding rumah dengan cat baru, sementara fondasi di dalamnya retak, rayap menggerogoti kayu, dan penghuni rumah berpura-pura tidak melihat. Hari ini, cat itu sudah mengelupas. Retakan itu sudah pecah. Dan rayap itu sudah menampakkan wujudnya: korupsi, ketidakadilan, ketimpangan, dan keserakahan yang mewujud jadi api sungguhan. Api yang membakar institusi politik, api yang menyambar kehidupan rakyat, api yang membakar ilusi tentang sebuah bangsa besar yang konon "tidak bisa runtuh."

Tiga nyawa melayang dalam kebakaran gedung DPRD itu. Lima lainnya terluka. Angka-angka ini seakan biasa saja, karena kita sudah terbiasa dengan berita kematian. Tapi coba renungkan: bukankah kematian itu menegaskan bahwa kita bukan lagi sekadar penonton sinetron politik? Bukankah darah yang menetes itu menampar wajah bangsa ini yang selama ini sibuk berdebat di ruang maya, sementara kenyataan di luar jendela adalah rakyat yang meregang nyawa? Kita sering tertawa getir melihat korupsi, kita sering melontarkan lelucon tentang DPR, tentang polisi, tentang janji palsu. Tapi kali ini, tidak ada yang lucu. Tidak ada yang bisa ditertawakan ketika api sungguhan membakar simbol demokrasi lokal, dan manusia sungguhan mati terpanggang di dalamnya.

Tragedi ini lahir dari rentetan peristiwa yang mungkin terlihat kecil: seorang pengemudi ojek online, Affan, yang tewas karena sebuah insiden. Tapi di balik kematian kecil itu, ada luka besar yang selama ini ditutupi. Luka ketidakadilan, luka kemiskinan, luka birokrasi yang bengkok, luka aparat yang lebih pandai mengatur dompet ketimbang mengatur lalu lintas. Luka-luka itu menumpuk seperti bensin yang disimpan di gudang. Dan hari ini, percikan api sudah jatuh. Gudang itu mulai terbakar. Pertanyaannya: berapa lama lagi sebelum seluruh rumah ikut hangus?

Buku Republik Rapuh pernah menulis bahwa bangsa ini pandai menertawakan lukanya sendiri. Kita marah sebentar, lalu kembali sibuk dengan rutinitas. Ada skandal korupsi, kita ribut sebentar, lalu lupa. Ada janji palsu, kita kesal sebentar, lalu menyesuaikan diri. Kita seperti penonton sinetron yang setia: tahu alurnya tidak pernah berubah, tahu aktornya hanya berganti wajah, tapi tetap menonton. Namun hari ini, rakyat sudah tidak mau sekadar menonton. Mereka naik ke panggung. Mereka merobek naskah. Mereka membakar set panggung itu sendiri. Dan di situlah letak getirnya: ketika rakyat dipaksa terlalu lama untuk menjadi penonton yang harus bertepuk tangan, mereka akhirnya memilih membakar panggung agar drama berhenti.

Apa yang kita lihat di jalan-jalan kota bukan sekadar demonstrasi. Itu adalah jeritan sebuah bangsa yang terlalu lama menunda berobat, seperti pasien sakit parah yang terus berkata, "saya baik-baik saja." Kita bangsa yang suka bercermin hanya dengan filter, menutup jerawat dengan bedak, menghapus luka dengan make-up. Tetapi cermin hari ini sudah pecah. Api yang menjilat langit Makassar adalah cermin itu yang jatuh dari dinding. Dan ketika kita bercermin di dalamnya, wajah yang terlihat bukan lagi wajah gagah penuh kebanggaan, melainkan wajah muram, berantakan, dan penuh noda darah.

Mungkin inilah cara sejarah berbicara kepada kita: dengan darah dan api. Kita terlalu lama menunda mendengar kritik, terlalu lama menolak bercermin, terlalu lama sibuk berdandan. Kini sejarah sudah membuka suaranya. Sejarah berkata: kalau kalian tidak mau berubah, maka aku akan menyeret kalian ke titik paling getir. Sejarah tidak peduli apakah kita masih ingin percaya pada jargon "NKRI harga mati." Sejarah hanya peduli pada satu hal: apakah bangsa ini mau berubah atau tidak. Dan jika tidak, bubar bukan lagi ancaman, melainkan konsekuensi.

Kita bisa saja menyebut tragedi ini sebagai insiden biasa. Pemerintah bisa saja mengumumkan bahwa situasi terkendali. Polisi bisa saja menangkapi beberapa orang, menempelkan label provokator, dan selesai. Tapi apakah benar selesai? Atau ini justru awal dari sesuatu yang lebih besar? Kita tahu betul, dalam sejarah bangsa manapun, bubarnya sebuah negara jarang datang tiba-tiba. Ia selalu diawali dengan retakan kecil, dengan api yang membakar satu gedung, dengan darah yang jatuh dari satu tubuh, dengan rakyat yang mulai kehilangan rasa percaya. Dan retakan-retakan itu kini ada di depan mata kita.

Kita pernah berbangga dengan label ekonomi terbesar di Asia Tenggara, dengan sebutan demokrasi ketiga terbesar di dunia. Tetapi label itu kini terasa seperti spanduk usang yang masih dipajang di tengah rumah roboh. Apa artinya demokrasi terbesar jika rakyatnya membakar gedung wakilnya sendiri? Apa artinya ekonomi besar jika rakyatnya harus menimbang antara membeli beras atau membayar listrik? Apa artinya kebanggaan masa lalu jika hari ini rakyatnya merasa hidupnya lebih mirip sandiwara murahan yang penuh janji kosong?

Darah di jalanan itu bukan hanya milik Affan, bukan hanya milik mereka yang tewas di Makassar. Darah itu adalah simbol darah kita semua, darah bangsa yang perlahan menetes karena luka yang tidak pernah dijahit. Api di gedung DPRD itu bukan hanya api di Sulawesi, melainkan api yang bisa menjalar ke mana saja, ke setiap kota, ke setiap lorong, ke setiap hati yang merasa sudah terlalu lama dibohongi. Kita bisa terus berpura-pura bahwa ini hanya badai sesaat. Tetapi setiap badai besar selalu dimulai dari angin kecil yang kita abaikan. Dan hari ini, angin itu sudah berubah menjadi amukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Makassar Selengkapnya
Lihat Makassar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun