Saya membaca buku Manusia Masa Depan bukan hanya dengan rasa penasaran, tapi dengan semacam gemetar yang sulit dijelaskan. Karena sejak halaman pertama, saya merasa sedang mengintip jendela masa depan---bukan masa depan yang dibayangkan oleh film-film fiksi ilmiah, tetapi masa depan yang sedang kita susun diam-diam lewat pilihan-pilihan harian kita: memilih teknologi, memilih kecepatan, memilih efisiensi... dan perlahan, meninggalkan sesuatu yang dulu disebut "kemanusiaan."
Pertanyaannya kemudian menggelayut terus di kepala saya: Apakah kita siap menjadi spesies baru?
Buku ini tidak memaksa pembaca untuk setuju. Ia justru membimbing dengan hati-hati, membawa kita masuk ke dalam percakapan besar tentang apa artinya menjadi manusia hari ini---dan lebih dari itu, esok. Saat penulis membuka pembahasan tentang evolusi manusia dari Homo Sapiens yang pertama kali menjinakkan api, bercocok tanam, lalu menciptakan mesin dan internet, saya tersadar bahwa kita selalu berada dalam proses menjadi. Manusia tak pernah statis. Kita berubah, beradaptasi, berkembang. Tapi entah mengapa, perubahan kali ini terasa berbeda. Lebih dalam, lebih cepat, dan lebih menentukan.
Yang membuat buku ini istimewa adalah caranya menjelaskan perubahan bukan hanya dari sisi teknologi, tetapi dari sisi sosial, moral, dan eksistensial. Misalnya, ketika penulis mengupas soal kemajuan di bidang pengeditan gen, saya terdiam cukup lama. Kita kini punya kemampuan untuk mengubah cetak biru kehidupan. Kita bisa, secara teori, memilih anak seperti apa yang ingin kita lahirkan. Tanpa penyakit genetik, mungkin lebih cerdas, mungkin lebih cantik. Tapi pertanyaannya bukan soal kemampuan. Pertanyaannya adalah: apakah seharusnya?
Di sinilah buku ini benar-benar mengguncang saya. Ia memaksa pembaca untuk bertanya bukan hanya "apa yang mungkin dilakukan manusia", tapi "apa yang patut dilakukan manusia." Dan itu pertanyaan yang jauh lebih sulit. Karena pertanyaan moral tak bisa dijawab dengan logika teknologi. Ia butuh refleksi, empati, dan nilai-nilai yang semakin terpinggirkan di era yang dibanjiri oleh kecanggihan.
Saya kagum karena buku ini tidak sekadar menyampaikan informasi atau teori. Ia mengajak berdialog. Setiap bab seakan berbicara langsung kepada pembaca. Saat bicara tentang masa depan pekerjaan, misalnya, saya merasa sedang duduk berhadapan dengan penulis, membahas dengan jujur: jika robot bisa menggantikan tenaga kerja manusia, lalu bagaimana manusia menemukan makna dalam hidupnya? Jika pekerjaan bukan lagi kebutuhan ekonomi, apakah kita masih merasa berguna? Dan mungkinkah kita menemukan kebahagiaan dalam dunia yang serba otomatis?
Bagian yang paling menggugah bagi saya adalah ketika buku ini berbicara tentang identitas dan keberadaan. Apa yang membuat kita manusia jika empati bisa diprogram, cinta bisa disimulasikan, dan keputusan moral bisa diotomatisasi? Pertanyaan itu muncul bukan dari ketakutan, tetapi dari kerendahan hati untuk merenungi betapa kompleks dan berharganya pengalaman manusia. Teknologi bisa meniru banyak hal, tapi apakah ia bisa merasakan kehilangan? Apakah ia bisa merayakan kemenangan kecil dengan air mata? Apakah ia bisa menanggung keraguan, lalu tetap memilih untuk berharap?
Buku ini menjelajahi isu-isu global seperti perubahan iklim, globalisasi budaya, dan krisis identitas dengan kedalaman dan kelapangan pandangan yang jarang saya temukan. Saya merasa bahwa buku ini lahir bukan hanya dari riset, tapi dari cinta yang tulus pada manusia---pada segala kelebihan dan kelemahannya. Ia bukan suara yang sinis terhadap kemajuan, tetapi suara yang bijak dan penuh peringatan: jangan sampai kemajuan membawa kita menjauh dari inti kemanusiaan kita.
Dan di sanalah letak ketakjuban saya. Karena Manusia Masa Depan berhasil memetakan dilema besar zaman ini tanpa membuat kita merasa putus asa. Sebaliknya, ia mengajak kita untuk aktif memilih. Bahwa masa depan bukan takdir yang datang begitu saja, tapi konstruksi dari keputusan-keputusan hari ini. Apakah kita memilih menciptakan teknologi yang eksklusif, atau inklusif? Apakah kita memilih mempercepat tanpa refleksi, atau perlahan dengan arah yang benar?
Saya jadi ingat salah satu kalimat kuat dalam buku ini: "Kita tidak hanya menciptakan masa depan---kita menciptakan jenis manusia seperti apa yang akan hidup di masa depan itu." Kalimat itu menghantui saya, sekaligus memotivasi. Karena itu berarti kita semua punya peran. Kita bukan penonton. Kita adalah arsitek dari evolusi selanjutnya.