Mohon tunggu...
Fradj Ledjab
Fradj Ledjab Mohon Tunggu... Guru - Peziarah

Coretan Dinding Sang Peziarah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Petuah Sang Komdan

2 Juni 2021   06:30 Diperbarui: 2 Juni 2021   06:33 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Piet Meran, Sang Komdan Abadi Linmas sedang melantunkan syair/petuah adat di desa Watuwawer (Foto: dokpri 2016)

Sang Komdan yang bijak itu tidak memiliki pendidikan yang tinggi, dia hanyalah seorang Komdan Linmas di wilayah yang jauh dari jantung kota, jauh dari hiruk pikuk android, seorang anak kampung. Ia mengenal strategi pengamanan Linmas melalui pendekatan persuasif. Ia hidup membaur dengan masyarakat tempat ia berada, tanpa batas, tanpa tirai pemisah antara dirinya sebagai pemimpin Linmas dan yang dipimpin, entah anggota Linmas atau pun warga. 

Baginya jabatan bukan kekuasaan tetapi pelayanan dalam semangat solidaritas. Sang Komdan meretas pemodelan pendekatan ini sebagai langkah untuk mencoba membangun dan memperkuat ikatan kekeluargaan; siapa saja adalah keluarga dan saudara, sekaligus membangun kekuatan berbasis warga masyarakat dengan semboyan 'keamanan; dari, oleh, dan untuk masyarakat'.

Melalui modal dan moďel kepemimpinan seperti itu Sang Komdan semakin belajar kebijaksanaan. Ia mendengar, melihat, mengalami segala dinamika hidup di sekitarnya. 

Orang-orang di sekitarnya adalah guru yang mengajarinya banyak hal namun ia tidak serta merta menelan bulat-bulat setiap pengetahuan dan ajakan yang ia terima. Filtrasi diperlukannya sehingga tidak menimbulkan aneka perspektif dan sudah tentu hal menyangkut kebaikan hidup bersama menjadi fokus pilihan hidupnya. 

Petuah yang ia berikan merupakan hasil belajarnya melalui mendengar dan mengalami. Ia tidak mencoba menggurui, ia hanya melakukan apa yang bisa ia lakukan. Ia memilih jalan kerendahan hati, menunjukkan dan mempertahankan jati dirinya sebagai manusia yang berbudaya.

Jika mau jujur, generasi muda kita saat ini banyak yang tidak bisa atau jika boleh dikatakan tidak tahu melantunkan syair petuah adat. Ada tetapi tidak banyak, satu dua saja. Ini sebagai sebuah dampak modernisasi yang telah menggeser pola pikir dan corak hidup. 

Sebagai contoh, jika ada pesta/hajatan, orang lebih suka modern dance ketimbang tradisional dance. Apalagi kalau menyinggung uri sele (pantun tradisional berisi petuah yang dibawakan secara bergantian oleh orang-orang tua laki-laki) yang semakin langka. 

Saya ingat, kalau dulu ada pesta sambut baru, perkawinan, uri sele ini selalu memainkan peran penting dan menjadi utama dalam pesta tersebut. Sekarang semakin terhimpit dan jika tidak segera disadari pelan-pelan akan menghilang. Ini peringatan!. 

Nah, Sang Komdan dengan segala keterbatasannya berusaha mempertahankan warisan luhur ini. Ia sadar betul bahwa desa kita telah diwacanakan sebagai desa tujuan wisata budaya dan religi maka hal baik ini perlu terus dihidupkan agar api budaya dan identitas kita tetap bernyala. 

Sang Komdan menegaskan bahwa para wisatawan yang masuk ke desa kita bukan saja untuk wisata mata tetapi benar-benar masuk dalam budaya yakni melihat, mendengar, merasakan, mengalami karena mereka dan kita semua tinggal dalam budaya itu. 

Oleh karena itu ia akan terus melantunkan syair petuah itu agar semua kita boleh kembali lagi ke 'rumah' kita. Artinya, kita yang jauh maupun yang dekat dengan selalu ingat dan berusaha terus menerus untuk menghidupi tradisi dan budaya sebagi 'rumah'kita bersama.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun