militer, dan penyiksaan warga sipil, yang sering menargetkan kelompok etnis
tertentu. Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa mencatat ribuan kasus kekerasan seksual
sebagai senjata perang, dengan perempuan dan anak-anak sebagai korban utama, dan pelaku
sering lolos dari hukuman. Contohnya adalah pembantaian etnis di Juba 2013, yang dianggap
sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, merusak kepercayaan negara, dan memperparah
trauma sosial.
Krisis kemanusiaan besar terjadi sebagai akibat dari konflik ini; lebih dari 1,9 juta
pengungsi dan 2,3 juta lainnya melarikan diri ke negara tetangga seperti Republik Demokratik
Kongo, Uganda, dan Ethiopia. Akibatnya, krisis pengungsian yang terjadi di Sudan adalah
yang terbesar di dunia (UNHCR, 2024). Penghentian produksi minyak, hiperinflasi, dan
kerusakan infrastruktur telah menghancurkan ekonomi Sudan Selatan, yang menyebabkan
kelaparan massal dan ketergantungan pada bantuan internasional. Secara sosial, konflik etnis
dan kekerasan gender yang meningkat menghambat kemajuan, sementara struktur negara yang
rusak karena korupsi dan konflik internal menghambat kemajuan negara.
Dampak Konflik Terhadap Kemiskinan
Konflik internal yang berkepanjangan telah menghancurkan fondasi ekonomi Sudan
Selatan, terutama sektor minyak yang menjadi tulang punggung negara dengan kontribusi
hampir 90% terhadap penerimaan fiskal. Ketidakstabilan politik, kerusakan infrastruktur, serta
keluarnya investor asing memperburuk situasi ekonomi. Menurut laporan International Banker
(2024), Sudan Selatan mengalami kontraksi PDB hingga 30%, sementara inflasi melonjak dan
memperparah kondisi kemiskinan.
Selain melumpuhkan sektor energi, konflik juga menghantam sektor pertanian yang
menjadi sumber penghidupan mayoritas masyarakat. Perang menghambat produksi pangan,
memicu gagal panen, serta membatasi distribusi bantuan. Data dari World Bank (2023)
menunjukkan bahwa lebih dari 76% penduduk Sudan Selatan hidup di bawah garis kemiskinan,
sedangkan African Development Bank mencatat sekitar 92% warga hanya mampu hidup
dengan kurang dari US$2 per hari (World Bank, 2023). Lebih lanjut, World Food Programme
(2025) memperkirakan 57% populasi mengalami krisis pangan akut, dengan wilayah seperti
Upper Nile berada di ambang kelaparan dan 32.000 orang terancam kondisi famine. Situasi ini
diperburuk dengan fakta bahwa lebih dari 60.000 anak malnutrisi gagal mendapat bantuan
akibat blokade konflik bersenjata (Reuters, 2025)
Kondisi tersebut menandakan dampak jangka panjang konflik terhadap struktur sosial
Sudan Selatan. Generasi muda kehilangan akses pendidikan dan kesempatan kerja,
menciptakan risiko lost generation yang memperparah lingkaran kemiskinan. Konflik juga
memicu tingginya angka pengungsian internal maupun lintas negara---lebih dari 4 juta orang
terpaksa meninggalkan rumahnya, menjadikan Sudan Selatan salah satu krisis pengungsi
terbesar di Afrika (UNHCR, 2024). Kehidupan di kamp-kamp pengungsian yang penuh
keterbatasan membuat banyak keluarga sulit keluar dari siklus kemiskinan antargenerasi.
Selain itu, konflik berkepanjangan melemahkan legitimasi dan kapasitas institusi
negara. Pemerintah gagal menyediakan layanan dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan
keamanan. Ketergantungan Sudan Selatan pada bantuan internasional semakin mengakar, baik
dari PBB, African Union, maupun lembaga donor global seperti World Food Programme dan
USAID. Akan tetapi, bantuan tersebut seringkali terhambat oleh situasi keamanan yang
memburuk, korupsi, serta perebutan sumber daya oleh elit politik. Alhasil, konflik internal
tidak hanya menghancurkan ekonomi dan menjerumuskan rakyat dalam kemiskinan, tetapi
juga merusak modal sosial dan kepercayaan publik terhadap negara.
Kesimpulan
Meskipun lahir dengan euforia kemerdekaan dan harapan besar untuk menjadi negara
yang stabil dan makmur, Sudan Selatan justru terjebak dalam konflik internal yang
berkepanjangan sejak 2013. Perebutan kekuasaan antar-elite dan politisasi etnis
menghancurkan fondasi negara muda ini, menimbulkan perang saudara, krisis kemanusiaan,
dan runtuhnya institusi. Dampaknya sangat nyata: ekonomi yang bergantung pada minyak
hancur, sektor pertanian gagal panen, jutaan orang mengungsi, dan sebagian besar penduduk
hidup di bawah garis kemiskinan. Dengan demikian, kemiskinan di Sudan Selatan bukan
karena kurangnya sumber daya, melainkan akibat konflik internal. Hanya rekonsiliasi politik,
tata kelola yang kuat, dan perdamaian berkelanjutan yang dapat membuka jalan menuju
kemerdekaan yang sejalan dengan harapan rakyatnya.
Penulis: Nabil Fabian Yusuf, Hanny Miftakhul Sa'yadah, Fahria Sofa Junietabella, Tegar Ahmad Wiratama
Editor: Yusuf Laitsy
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI