Pendahuluan
Setelah memisahkan diri dari Sudan pada tahun 2011, Sudan Selatan dianggap sebagai
negara termuda di dunia. Jutaan rakyatnya menyambut proses panjang menuju kemerdekaan
dengan harapan, mengantisipasi masa depan yang aman, makmur, dan bebas dari perselisihan.
Selama beberapa waktu, Sudan Selatan dianggap memiliki kekuatan yang diperlukan untuk
membangun negara yang stabil dan makmur karena kekayaan sumber daya alamnya, terutama
minyak bumi.
Namun, apa yang terjadi justru bertentangan dengan apa yang diharapkan. Tidak lama
setelah kemerdekaannya, Sudan Selatan kembali terlibat dalam konflik internal, masalah politik,
dan perebutan kekuasaan antar elit, yang mengakibatkan perang saudara. Akibatnya ekonomi
negara runtuh, kemiskinan meningkat, dan jutaan orang hidup dalam keadaan darurat. Situasi
ini menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana bisa sebuah negara yang penuh harapan menjadi
bagian dari rantai kemiskinan dan penderitaan? Ini akan menjadi esai tentang perjalanan Sudan
Selatan dari euforia kemerdekaan hingga kesulitan yang dihadapinya saat ini.
Pasca Kemerdekaan, Sudan menghadapi kesenjangan tajam antara realitas dan harapan.
Menurut data yang diterbitkan oleh European Civil Protection and Humanitarian Aid
Operations (ECHO), Krisis kemanusiaan di Sudan Selatan terus berlanjut akibat kombinasi
konflik bersenjata, kekerasan antar-komunitas, krisis ekonomi, perang di Sudan, dan
guncangan terkait iklim. Pada tahun 2025, 9,3 juta orang (sekitar 70% dari populasi)
membutuhkan bantuan kemanusiaan. Selama periode paceklik, diperkirakan 7,8 juta orang
akan mengalami ketidakamanan pangan yang parah, 2,1 juta anak berisiko mengalami gizi
buruk akut, dan wabah kolera terus membebani sistem kesehatan yang sudah tertekan.
Harapan Pasca Kemerdekaan
Kemerdekaan Sudan Selatan pada 9 Juli 2011, memicu euforia besar di kalangan rakyat
yang didukung oleh dukungan internasional dari PBB, AS, dan Uni Afrika, serta keyakinan
akan sumber daya minyak yang melimpah, yang menyumbang sekitar 90% pendapatan negara
(IMF, 2011). Harapan ini didorong oleh keyakinan bahwa kemerdekaan akan mengakhiri
dekade konflik dengan Sudan dan membawa stabilitas serta pembangunan. Rakyat Sudan
Selatan bermimpi membangun negara yang inklusif dengan ekonomi yang kuat, sementara
komunitas internasional berinvestasi dalam misi perdamaian seperti UNMISS untuk
mendukung transisi menuju demokrasi dan kesejahteraan (The United Nation Office at
Geneva, 2025).
Namun, harapan tersebut terhambat oleh struktur politik dan etnis yang rapuh sejak
awal. Ketegangan yang tersembunyi di balik euforia kemerdekaan terletak pada persaingan
dalam Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan (SPLM) antara kelompok etnis Dinka dan Nuer,
serta kurangnya institusi negara yang kokoh. Korupsi yang merajalela dan ketidakmampuan
pemerintah untuk mengelola sumber daya minyak secara transparan memperburuk
ketimpangan sosial, yang mengarah pada konflik sipil pada tahun 2013. Harapan awal ini
dengan cepat ditolak oleh kenyataan bahwa konflik politik, konflik etnis, dan krisis
kemanusiaan telah menghancurkan dasar negara baru.
Realitas Konflik Internal
Pada Desember 2013, perang sipil dimulai di Sudan Selatan setelah Presiden Salva Kiir,
yang berasal dari etnis Dinka, memecat Wakil Presiden Riek Machar, yang berasal dari etnis
Nuer, atas tuduhan melakukan kudeta. Konflik ini memang berawal dari dalam negeri namun,
dengan cepat berubah menjadi pertempuran bersenjata antara pasukan pemerintah dan
kelompok oposisi, yang menghasilkan kekerasan massal di Juba dan di wilayah lain. Meskipun
ada beberapa upaya perdamaian, seperti Perjanjian Revitalisasi 2018 yang membentuk
pemerintahan transisi, pertempuran sporadis masih terjadi hingga hari ini, menewaskan ratusan
ribu orang, dan memperburuk ketidakstabilan negara yang baru merdeka pada 2011. Perang
saudara yang terjadi pada tahun 2013 dianggap sebagai salah satu konflik mematikan di Afrika.
(Putri Ramadani, 2023). Ini menunjukkan bahwa perang saudara yang terjadi pada tahun 2013
bukanlah sesuatu yang baru; itu lebih seperti klimaks dari konflik kekerasan di masa lalu yang
telah menjadi lebih ekstrim di era modern.
Di antara dimensi politik dan etnis yang kompleks dari konflik ini, identitas suku
dipolitisasi karena ketidakmampuan untuk membangun negara yang inklusif setelah
kemerdekaan, terutama antara Dinka dan Nuer. Warisan kolonial dan persaingan atas sumber
daya seperti minyak memperburuk konflik kekuasaan antar-elite. Kekerasan massal muncul
sebagai hasil dari ketegangan ini, seperti pembantaian massal di Bentiu pada tahun 2014, yang
menargetkan kelompok etnis tertentu, menimbulkan perpecahan di masyarakat, dan
mempersulit proses rekonsiliasi nasional. Politisasi etnis ini menyebabkan konflik berlanjut
dan mengganggu pemerintahan yang efektif (Cahyanti, 2017).
Ciri utama konflik ini adalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dengan kejahatan
perang seperti pembunuhan massal, pemerkosaan sistematis, perekrutan anak-anak untuk