Artikel ini lahir dari obrolan hangat di sebuah ruang yang kami sebut Rumah Indonesia---kediaman keluarga kami, yang bukan sekadar tempat pulang, tapi arena dialektika. Senin petang, 11 Agustus 2025, saya duduk bersama istri saya, Agustina Dewi Setyari---akademisi di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Jember, pegiat keadilan gender, Koordinator Divisi Advokasi di Pusat Studi Gender (PSG) UNEJ, sekaligus anggota aktif Pusat Lingkungan Hidup dan Kebencanaan LP2M UNEJ, divisi kebencanaan. Sejak setahun lebih, ia tak pernah lelah memadukan advokasi gender dengan kerja-kerja penanggulangan bencana.
Nama Rumah Indonesia kami pilih karena tiga putri kami memiliki nama yang diakhiri dengan kata "Indonesia"---sebuah doa agar mereka tumbuh dalam identitas kebangsaan yang setara dan merdeka. Dalam percakapan yang berlangsung sambil menunggu senja, kami membedah satu topik: bagaimana memastikan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Desa 2026 menjadi inklusif, berketahanan iklim, sekaligus menghapus warisan patriarki yang masih membelenggu banyak desa di negeri ini.
Keadilan Gender: Lebih dari Sekadar Kesetaraan
Keadilan gender adalah memastikan perempuan, laki-laki, dan kelompok rentan memiliki akses yang setara terhadap sumber daya, kesempatan, dan keputusan. Tidak cukup hanya memberi porsi yang sama karena situasi dan hambatan yang dihadapi berbeda, kebijakan harus menyesuaikan kebutuhan agar hasilnya benar-benar setara.
Dalam konteks RKP Desa 2026, keadilan gender berarti memberi ruang dan fasilitas agar perempuan bisa hadir di forum musyawarah desa, menyediakan sarana transportasi atau penitipan anak saat rapat, hingga menyusun anggaran khusus untuk program yang diinisiasi oleh kelompok perempuan dan kelompok rentan. Feminisme hadir di sini bukan sekadar sebagai slogan, tapi sebagai mesin perubahan yang menggeser pusat kekuasaan dari lingkaran patriarki ke meja bersama seluruh warga desa.
Menghadapi Jejak Panjang Patriarki
Patriarki di desa bukan sekadar soal "siapa memimpin", tetapi sistem nilai yang menempatkan laki-laki sebagai pemilik otoritas penuh. Dampaknya sangat nyata:
Perempuan jarang masuk dalam struktur kepanitiaan inti pembangunan.
-
Pekerjaan domestik dianggap bukan "kontribusi ekonomi".
-
Program pembangunan sering bias pada infrastruktur fisik yang dianggap "milik laki-laki" dan mengabaikan kebutuhan dasar perempuan, seperti air bersih, sanitasi layak, dan fasilitas kesehatan reproduksi.
RKP Desa yang adil gender harus memutus rantai ini. Bukan dengan menciptakan program khusus untuk perempuan saja, tetapi dengan mengintegrasikan perspektif gender di setiap bidang, seperti pertanian, pendidikan, kesehatan, lingkungan, dan mitigasi bencana.
Feminisme sebagai Mesin Perubahan
Feminisme sering disalahpahami sebagai "gerakan melawan laki-laki". Padahal, esensinya adalah menantang semua bentuk ketidakadilan yang lahir dari perbedaan gender, termasuk yang merugikan laki-laki sendiri.
Dalam kerangka desa berketahanan iklim, feminisme mendorong:
1. Kebijakan inklusif
Pemerintah desa menyusun kebijakan yang melibatkan perempuan, penyandang disabilitas, dan lansia dalam proses perencanaan adaptasi perubahan iklim. Partisipasi ini juga mencakup pembahasan langkah pencegahan agar ruang pertemuan, fasilitas umum, dan tempat pengungsian aman dari kekerasan dan pelecehan seksual, misalnya dengan penempatan penerangan yang memadai, penyediaan area terpisah bagi perempuan, dan mekanisme pengaduan cepat yang responsif gender.
2. Redistribusi sumber dayaÂ
Pemerintah desa menjamin distribusi lahan, modal, dan teknologi ramah lingkungan secara setara kepada perempuan sebagai upaya penguatan peran mereka dalam ketahanan iklim. Akses ini juga dilengkapi dengan pelatihan yang mengajarkan keterampilan ekonomi tanpa risiko pelecehan seksual, seperti memfasilitasi kelompok usaha perempuan di ruang aman yang bebas dari intimidasi atau eksploitasi. untuk memastikan bahwa perempuan mendapat akses terhadap lahan, modal, dan teknologi ramah lingkungan.
3. Pengakuan kerja tak dibayar
Desamengintegrasikan beban kerja domestik perempuan ke dalam perencanaan program adaptasi perubahan iklim, sehingga pekerjaan rumah tangga tidak menjadi penghalang partisipasi mereka. Dalam forum musyawarah desa, hal ini juga diikuti dengan pembahasan perlindungan perempuan dari kekerasan domestik, seperti menyediakan layanan konseling, dukungan hukum, dan kampanye publik untuk menghentikan pelecehan di ranah rumah tangga maupun komunitas.
Contoh Praktik di RKP Desa 2026
Agar tidak berhenti di tataran wacana, berikut contoh kebijakan berbasis pengarusutamaan gender yang bisa masuk ke RKP Desa 2026:
Musyawarah Desa Berperspektif Gender. Jadwal dan lokasi rapat menyesuaikan waktu luang perempuan, penyandang disabilitas, dan lansia; dengan fasilitas yang ramah anak.
Dana Desa untuk Adaptasi Iklim. Kelompok perempuan memimpin program pertanian tahan kekeringan, diversifikasi pangan, dan pengelolaan sumber air.
Shelter Bencana Ramah Perempuan. Ruang aman dengan fasilitas menyusui, toilet terpisah, dan jalur kursi roda.
Pelatihan Teknologi Hijau. Mengutamakan remaja perempuan dan difabel untuk mengakses inovasi energi terbarukan dan pertanian organik.
Mengubah Cara Pandang, Bukan Sekadar Menambah Program
Pengarusutamaan gender bukan sekadar menempelkan label "untuk perempuan" pada sebuah kegiatan, tetapi memastikan seluruh program diuji dampaknya terhadap perempuan dan kelompok rentan.
Artinya:
Laki-laki juga diajak terlibat aktif dalam membongkar norma patriarki.
Transparansi anggaran menjadi kewajiban, agar semua warga, termasuk perempuan, bisa mengawasi proses pembangunan.
Penilaian keberhasilan program mencakup indikator keadilan gender, bukan hanya capaian fisik.
Anti-Patriarki dalam Aksi Nyata
Budaya patriarki mengurung perempuan dalam tiga ruang, yaitu dapur, sumur, dan kasur. Melawan patriarki berarti mengubah distribusi peran dan kekuasaan. Beberapa langkah yang bisa dilakukan desa:
Mengangkat perempuan sebagai ketua tim pelaksana proyek infrastruktur.
Memberikan prioritas beasiswa kepada anak perempuan dari keluarga miskin.
Memasukkan pendidikan kesetaraan gender dalam kegiatan PKK dan karang taruna.
Anti-patriarki tidak berarti menghapus peran laki-laki, melainkan memastikan peran tersebut tidak didasarkan pada hierarki gender, melainkan pada kompetensi dan kesepakatan bersama.
Desa Berketahanan Iklim adalah Desa yang Adil Gender
Ketahanan iklim tidak bisa dibangun setengah hati. Perempuan, dengan pengalaman langsung mengelola air, pangan, dan kesehatan keluarga, adalah garda terdepan adaptasi iklim. Tanpa melibatkan mereka secara penuh, upaya mitigasi bencana dan perubahan iklim hanya akan menjadi proyek teknis tanpa jiwa.
RKP Desa 2026 harus menjadi dokumen politik pembangunan yang:
Mengakui potensi dan hak perempuan sebagai pengambil keputusan.
Memastikan akses setara terhadap seluruh sumber daya.
Menghapus struktur sosial yang menghalangi partisipasi penuh warga, terutama perempuan dan kelompok rentan.
Penutup
Diskusi di Rumah Indonesia malam itu bukan hanya tentang menulis artikel. Ia adalah kelanjutan dari percakapan panjang di meja makan, halaman rumah, dan ruang keluarga kami tentang bagaimana membesarkan tiga anak perempuan di tengah dunia yang belum sepenuhnya adil.
Feminisme, bagi kami, adalah cara memastikan desa bukan hanya bertahan dari badai iklim, tetapi juga merdeka dari badai ketidakadilan. Dan keadilan gender dalam RKP Desa 2026 adalah langkah kecil yang bisa menjadi perubahan besar bila kita mau melangkah bersama.
Salam DESAisME!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI