Scorecard itu datang diam-diam, tanpa suara, tanpa sorak-sorai. Ia hanya selembar dokumen, tapi menyimpan suara ratusan anak yang belum bisa bicara untuk dirinya sendiri. Ia bukan sekadar angka dan warna. Ia adalah wajah kecil yang mengintip dari balik halaman PDF itu. Wajah yang kurus, mata yang sayu, masa depan yang rapuh. Scorecard tak bisa menjerit, tapi jika bisa, mungkin ia akan berkata seperti orang tua di pedalaman Aceh, "Meu-ujang droe nyang meusah, hana droe nyang meulet"---jangan abaikan yang kecil dan lemah, karena merekalah masa depan yang sebenarnya kuat.
Tanggal 1 Juli 2025, semua desa menerima scorecard Triwulan II. Tapi pertanyaannya bukan apakah scorecard itu telah tiba. Pertanyaannya adalah: apakah scorecard itu akan dipakai? Ataukah lagi-lagi ia hanya disimpan dalam map plastik, menunggu dilupakan?
Apa Itu Scorecard dan Kenapa Penting?
Scorecard bukan sekadar tabel yang bisa dicetak lalu dilipat dua. Ia adalah kompas pembangunan manusia. Di dalamnya terdapat data capaian layanan dasar yang seharusnya diberikan kepada mereka yang paling membutuhkan, yaitu balita, ibu hamil, remaja putri, calon pengantin, dan keluarga rentan. Lima kelompok itu bukan sekadar "sasaran", mereka adalah denyut kehidupan desa, penentu masa depan.
Setiap angka nol di scorecard bukan hanya kegagalan sistem, tapi bisa menjadi awal dari cerita pilu tentang anak yang tidak tumbuh, gizi yang tidak sampai, harapan yang tidak sempat tumbuh. Maka jangan heran jika scorecard memiliki warna. Karena angka tak lagi cukup. Warna kuning dan merah pada kolomnya adalah peringatan. Ia bukan merah muda lucu atau kuning emas ceria, melainkan tanda bahaya, simbol genting.
Di Bali, para orang tua berkata, "Ajengan anak dados ajengan jagat"---mendidik anak adalah mendidik semesta. Maka jika data tentang anak-anak tak kita baca, bagaimana kita bisa mengaku sedang membangun desa?
Ancaman Bila Scorecard Tidak Dipakai
Bayangkan sebuah desa yang duduk dalam forum rembuk, tapi tak membuka scorecard. Bayangkan mereka menyusun kegiatan, menetapkan anggaran, memilih prioritas tapi semua tanpa melihat satu pun warna merah atau kuning di tabel konvergensi. Inilah kenyataan di banyak tempat. Musyawarah berjalan seperti biasa, sementara scorecard tetap terlipat di meja sekretariat, tak disentuh, tak dibaca.
Padahal di dalam lembar itu tertulis nama seorang anak. Sebut saja Ningsih, dua tahun, tinggal di dusun lereng. Ia belum pernah mendapat imunisasi, pemantauan tumbuh kembang, maupun makanan tambahan. Orang tuanya bekerja serabutan. Ia belum masuk PAUD karena jaraknya jauh. Tapi nama Ningsih tak pernah disebut dalam forum karena scorecard-nya tak pernah dibuka. Ia menjadi statistik yang bisu.
Orang Jawa menyebutnya dengan ungkapan, "Wong cilik mung dadi ongko, ora tau dadi perkoro." Orang kecil hanya jadi angka, tak pernah jadi urusan. Sementara di Papua, seorang kepala suku pernah berkata, "Anak-anak kami bukan daun gugur musim panas, mereka benih yang dititipkan tanah." Tapi benih itu bisa kering sebelum tumbuh, jika kita tak tahu di mana mereka berada.
Ketika scorecard diabaikan, desa kehilangan arah. Anggaran bisa habis untuk pelatihan yang tidak menyentuh sasaran. Dana bisa dipakai untuk pembangunan fisik tanpa satu pun menyentuh kebutuhan gizi balita. Di sinilah bahaya terbesar tersembunyi. Bukan karena desa tak punya dana, tapi karena desa tak tahu ke mana arah pembangunan manusianya.