Siapa sangka, dalam 40 menit Zoom sore itu, saya seolah benar-benar menapaki karpet merah Festival Film Cannes. Lewat layar laptop yang tak seberapa lebar, saya --- seorang pendamping desa dari Jember --- dibawa menjelajahi kota Cannes yang anggun, tempat para sineas dunia menarikan karyanya di panggung internasional.
Acara KotekaTalk-231 yang saya ikuti bertajuk "Hebohnya Masuk Gedung Palais des Festival Cannes", dengan narasumber Mbak Dina Mardiana, staf KJRI Marseille yang juga Kompasianer. Ia pernah masuk ke jantungnya festival itu: Palais des Festivals, gedung sakralnya para bintang. Tak sekadar datang, beliau juga pernah mendampingi tim Wakil Gubernur DKI sebagai interpreter. Anggun dan sederhana dalam berbagi kisah, Mbak Dina membuat Cannes terasa dekat dan bersahabat.
Dari presentasinya, saya baru tahu bahwa Cannes bukan sekadar tempat karpet merah dan selebriti. Festival ini pertama kali direncanakan tahun 1939 namun tertunda akibat perang dunia dan baru benar-benar digelar tahun 1946. Cannes dipilih karena iklimnya bersahabat dan infrastruktur wisatanya sudah mapan sejak abad ke-19. Letaknya pun strategis --- tak jauh dari bandara Nice dan Marseille, menjadikannya lokasi ideal bagi festival internasional.
Yang bisa masuk festival? Bukan sembarang turis. Harus undangan atau seleksi ketat. Film, sineas, juri, selebriti, atau tamu khusus. Tapi jangan salah, ada program bernama Three Days in Cannes yang membuka kesempatan untuk anak muda 18--28 tahun agar bisa merasakan atmosfer festival secara langsung. Tahun lalu saja pesertanya 3.000 orang dari berbagai negara. Ini adalah bukti bahwa Cannes tidak melulu tentang eksklusivitas, tapi juga keterbukaan untuk generasi baru.
Kami yang hadir di Zoom sore itu datang dari berbagai penjuru: Bonn, Marseille, bahkan kampung saya di Jember. Obrolan ringan pun mengalir. Ada yang bertanya, "Bayarnya berapa sih masuk ke sana?" Ada yang bercanda soal wine, dan saya sempat nyeletuk, "Pasti nggak ada makanan pecel dan lodeh." Tawa pun mengalir di ruang virtual.
Dan ya, saya juga bilang: "Pasti nggak ada yang pakai koteka." Itu saya tulis di chat Zoom tepat setelah Mbak Dina menjelaskan soal aturan busana yang berlaku di Cannes --- bahwa pengunjung dilarang mengenakan pakaian terlalu minim karena bisa mengganggu kesehatan mata, dan juga tidak boleh berlebihan karena bisa mengacaukan jalannya acara. Rupanya Cannes punya aturan busana yang ketat demi menjaga atmosfer elegan, namun tetap santun.
Seketika semua tertawa. Rupanya dalam dunia penuh gaun haute couture dan jas Armani, koteka tetap bisa menyelip --- bukan sebagai busana, tapi sebagai nama ruang temu lintas budaya. Sebuah momen kecil yang mengingatkan kita bahwa identitas dan kearifan lokal bisa hadir bahkan di percakapan global.
Lewat Zoom dan KotekaTalk ini, saya belajar bahwa seni tak hanya milik festival, tetapi juga milik kita yang mau mendengarkan, membayangkan, dan berbagi cerita. Cannes bukan hanya milik para bintang, tapi milik siapa pun yang masih percaya bahwa layar bisa menyatukan dunia. Bahkan bagi pendamping desa, Cannes bisa terasa dekat.
Festival seperti ini membuka jendela bahwa film bukan hanya hiburan, tapi cerminan budaya, identitas, dan kemanusiaan. Dan ketika kisah tentang karpet merah, gedung megah, dan aturan ketat bisa diceritakan dengan sederhana oleh sesama warga negara di ujung selatan Prancis, maka seni telah berhasil menjangkau tujuannya: menghubungkan manusia, melampaui batas negara dan status sosial.
Jadi, hari itu saya masuk Cannes. Lewat koteka. Lewat canda, tawa, dan layar Zoom. Lewat semangat yang melampaui jarak dan menjahit kembali mimpi kita akan perjumpaan.