Paradoks Indeks Desa di Negeri yang Bertutur, Bukan Menulis
Desa tidak lahir dari angka. Ia tumbuh dari tutur, dari aroma sawah yang basah, dari langkah kaki ibu-ibu yang membawa sayur di kepala dan harapan di keranjang rotannya. Desa tidak merekam lewat catatan; ia mengingat lewat cerita yang diwariskan dari mulut ke mulut, dari bale-bale bambu hingga sudut langgar yang sunyi.
Tapi kini, Desa ditanya oleh data.
Ia diminta menjawab dengan angka---tentang pendidikannya, kesehatannya, ekonomi, akses, lingkungan, dan tata kelola. Enam dimensi yang disusun rapi dalam lembar-lembar kuesioner. Ia diukur. Ia dinilai. Ia diklasifikasi: Mandiri, Maju, Berkembang, Tertinggal, Sangat Tertinggal.
Desa mendadak harus pandai membaca.
Paradoks yang Menganga
Pendataan Indeks Desa 2025, sebagaimana dijelaskan dalam forum sosialisasi Kementerian Desa beberapa waktu lalu, adalah lompatan strategis menuju pembangunan berbasis satu data nasional. Ia penting. Sangat penting. Karena tanpa data, pembangunan buta arah. Tanpa arah, desa tersesat di peta kebijakan.
Namun, ada paradoks yang tak bisa diabaikan: bagaimana mungkin Desa diminta bicara dalam bahasa angka, jika ia sendiri tak lahir dari alfabet?
Sebagian besar desa di pelosok Indonesia masih hidup dalam tradisi lisan. Mereka lebih percaya pada cerita ketimbang formulir, pada tanda-tanda alam ketimbang dashboard digital. Di sana, sejarah desa disimpan di ingatan kepala dusun, bukan di hard disk komputer.
Di sinilah letak perihnya: ketika lembaga pusat menunggu data dalam bentuk angka, Desa sibuk mencari padanan kata untuk menjelaskan siapa dirinya.
"Aku Ada, Tapi Tak Terdata"