Dalam ruang virtual sosialisasi, Menteri Desa berkata lantang: "Data yang salah bisa menjadi malapetaka kebijakan." Tepat. Tapi bagaimana jika data yang benar tak mampu ditulis?
Banyak desa yang sebenarnya tumbuh, namun tak terdeteksi. Banyak inovasi yang hidup dalam praktik sehari-hari, tapi tak tercatat dalam instrumen statistik. Di sinilah paradoks itu tumbuh subur: desa ada, tapi tak terdata; ia berkembang, tapi tak diakui.
Bahkan, ketika enumerator datang, membawa tablet dan jargon indikator, desa sering kali diam. Bukan karena tak tahu, tapi karena tak terbiasa menarasikan dirinya dalam bentuk checklist dan skor.
Dilema Petugas dan Duka Enumerator
Pendamping desa, kepala dusun, bahkan enumerator pun terjebak dalam dua dunia: satu dunia yang mendewakan sistem dan satu dunia yang masih memegang erat nilai-nilai tutur. Mereka tahu pentingnya pendataan, tapi juga tahu bahwa kejujuran data bisa hilang hanya karena ketidaktahuan cara menyampaikan.
Sering kali, demi memenuhi tenggat dan sistem, mereka menuliskan apa yang semestinya ada---bukan apa yang benar-benar ada. Maka jadilah data yang rapi tapi kosong, indah tapi dusta. Dan akhirnya, pembangunan pun disusun di atas ilusi.
Menjembatani yang Bisu
Indeks Desa 2025 adalah peluang emas. Tapi hanya jika ia mampu mendengar, bukan hanya membaca. Hanya jika ia memberi ruang pada bentuk-bentuk pengetahuan lokal yang tak terucap dengan angka.
Pemerintah kabupaten/kota harus hadir sebagai jembatan. Bukan hanya menagih data, tapi juga membantu menerjemahkan makna. Menyediakan pendampingan, pelatihan, dan teknologi yang tak sekadar canggih, tapi membumi.
Desa harus diajak bukan sekadar untuk mengisi, tapi untuk memahami.
Karena data sejati bukan sekadar angka. Ia adalah cerita, luka, harapan, dan upaya.