Pada Sabtu siang yang tenang, tepat pukul 12:01 WIB, sebuah notifikasi WhatsApp muncul di layar ponsel saya. Dari grup "Komunitas Feminis Yogyakarta," sebuah file gambar dikirim oleh salah satu anggota. Saya membuka gambar itu, dan mata saya langsung tertuju pada judul besar yang menarik perhatian: "Apakah Emosiku Sedang Dimanipulasi?"Â Poster itu bukan sekadar promosi acara biasa. Ia adalah pintu masuk menuju diskusi penting tentang manipulasi emosi, sebuah topik yang jarang terangkat secara eksplisit dalam percakapan sehari-hari, tetapi sangat relevan di era modern ini---terutama bagi perempuan.
Sebuah Refleksi di Grup Komunitas
Komunitas Feminis Yogyakarta, adalah ruang digital yang beberapa minggu ini kuikuti. Komunitas ini tampaknya menjadi wadah bagi para aktivis, akademisi, mahasiswa, dan masyarakat umum untuk berbagi gagasan seputar isu gender, hak asasi perempuan, dan kesejahteraan sosial. Di grup ini, diskusi sering kali berkisar pada pengalaman pribadi, teori feminisme, hingga tantangan yang dihadapi perempuan dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, poster ini membawa sesuatu yang baru. Workshop bertajuk "Apakah Emosiku Sedang Dimanipulasi?" tidak hanya berbicara tentang isu feminisme, tetapi juga menyentuh aspek psikologis yang kerap terabaikan: bagaimana emosi kita---sebagai manusia, terutama perempuan---sering kali dimanfaatkan atau dipengaruhi oleh lingkungan sosial, budaya patriarki, bahkan media massa.
Saya membaca detail acara itu berulang kali. Workshop ini akan diselenggarakan pada Minggu, 23 Maret 2025, pukul 13.00--15.30 WIB secara daring. Narasumbernya pun tak main-main. Ada Khairunnisa Ashfahani Faza, seorang social entrepreneur dan penulis buku, serta Dinov, seorang konselor kesehatan mental. Dengan kombinasi teori, praktik, dan kampanye konten, workshop ini tampak seperti peluang langka untuk memahami diri sendiri lebih dalam dalam konteks feminisme modern.
Mengapa Manipulasi Emosi Penting untuk Dibahas?
Di balik warna pink cerah dan ikon-ikon wajah emosi yang menggemaskan, ada pesan yang lebih dalam. Manipulasi emosi bukanlah hal baru. Sejak zaman dahulu, perempuan sering kali didorong untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma sosial yang dibuat oleh sistem patriarki. Ekspresi emosi mereka dikontrol: jangan terlalu marah, jangan terlalu keras, jangan terlalu vokal. Semua ini adalah bentuk halus dari manipulasi emosi yang telah melekat dalam struktur masyarakat.
Dalam konteks modern, manipulasi emosi semakin kompleks. Media sosial, misalnya, sering kali menjadi alat untuk mempermainkan perasaan seseorang melalui standar kecantikan, gaya hidup, atau ekspektasi karier. Bagi perempuan, tekanan ini bisa menjadi beban berat yang sulit diidentifikasi, apalagi diatasi.
Workshop ini hadir sebagai jawaban atas tantangan tersebut. Dengan fokus pada teori manipulasi emosi, praktik menjaga kesehatan mental, dan kampanye konten positif, acara ini memberikan alat dan perspektif baru bagi para peserta. Tidak hanya itu, adanya sertifikat dan journal digital gratis membuat acara ini semakin menarik untuk diikuti.
Suara dari Komunitas
Saat saya membagikan poster ini di grup, respons anggota lainnya begitu antusias. Beberapa anggota mulai bertanya-tanya tentang cara mendaftar, sementara yang lain berbagi pengalaman pribadi tentang bagaimana mereka merasa emosi mereka sering kali dimanipulasi oleh lingkungan sekitar.
"Kadang aku merasa bersalah kalau nggak bisa memenuhi ekspektasi orang lain," tulis salah satu anggota. "Mungkin workshop ini bisa bantu aku lebih paham kenapa aku merasa begitu."
Lainnya menambahkan, "Ini relevan banget sama isu feminisme. Kalau kita nggak bisa mengenali dan melindungi emosi kita sendiri, gimana kita bisa berdiri tegak melawan ketidakadilan?"
Menuju Hari Perempuan Internasional
Menariknya, acara ini digelar dalam rangka Hari Perempuan Internasional (International Women's Day). Tema besar yang diangkat oleh workshop ini---manipulasi emosi---merupakan refleksi dari perjuangan panjang perempuan untuk mendapatkan otonomi atas tubuh, pikiran, dan perasaannya. Dengan menyediakan ruang diskusi seperti ini, Komunitas Feminis Yogyakarta tidak hanya merayakan hari spesial tersebut, tetapi juga memberikan kontribusi nyata bagi pemberdayaan perempuan.