Nisan pada makam Islam secara praktis berfungsi sebagai penanda. Hal ini sejalan dengan informasi dari (Kurniawan, 2018) yang mengutip keterangan As-Syarbini dalam (Hamisy Tuhfatul Habib alal Khatib, 1996, p. 571) sebagai berikut, "Peletakan batu, kayu, atau benda serupa itu (dianjurkan) di atas makam pada bagian kepala jenazah karena Rasulullah SAW meletakkan batu besar di atas makam bagian kepala Utsman bin Mazh'un. Rasulullah SAW bersabda ketika itu; Dengan batu ini, Aku menandai makam saudaraku agar di kemudian hari Aku dapat memakamkan keluargaku yang lain di dekat makam ini." Seiring berjalanya waktu, nisan-nisan pun memiliki bentuk yang beragam, beberapa di Nusantara misalnya, banyak yang tidak melewatkan keindahan. Boleh dibilang, nisan sebagai sebuah benda memiliki sisi pakai, sisi hias dan sisi simbolik, sehingga masuk dalam circle produk kesenian Islam.
Di masa silam, orang-orang Islam dari berbagai Kawasan India, Cina, Parsi dan Arab sudah mengadakan kontak dengan masyarakat Nusantara pada abad ke-7 dan sesudahnya, namun sejauh ini nisan tertua yang ditemui dan diketahui di Nusantara adalah nisan seorang tokoh bernama Fatimah binti Maimun bin Hibatallah di Leran dengan angka tahun 7 Rajab 475 Hijriyah (2 Desember 1082 Masehi). Selanjutnya ada nisan Tuhar Amsuri di Barus berangka tahun 19 Safar 602 Hijriyah (11 Oktober 1205 Masehi), nisan Sultan Malik As-Salih di Samudra Pasai berangka tahun 696 Hijriyah (1297 Masehi), nisan Sirojuddin di Tuban berangka tahun 740 Hijriyah (1339 Masehi), salah satu nisan Makam Pitu di Trowulan berangka tahun 1329 Saka (1407 Masehi) dan nisan Maulana Malik Ibrahim di Gresik berangka tahun 12 Rabi'ul Awwal 822 Hijriyah (17 April 1419 Masehi).
Dari keenam nisan tersebut, semuanya memiliki kaligrafi Arab, tetapi hanya nisan Makam Pitu yang memakai angka tahun Saka dengan aksara Kawi (Jawa Kuno). Berdasarkan bentuk-bentukya, beberapa nisan memiliki kesamaan bentuk dengan nisan lain di luar Nusantara, yakni nisan Fatimah binti Maimun, Sirojuddin dan Maulana Malik Ibrahim. Sedangkan nisan Tuhar Amsuri, Sultan Malik As-Salih dan Makam Pitu memiliki bentuk yang khas, serta masih tampak 'hiasan-hiasan' seni Nusantara pra-Islam. Di luar keenam nisan tersebut, tentu semestinya masih banyak lagi nisan-nisan yang tersebar di Nusantara. Sejauh ini, nisan yang diketahui dari Periode Klasik (650-1250Â Masehi) dan Periode Pertengahan (1250-1800 Masehi) tidak banyak yang menggunakan inkripsi nama dan tahun, di antaranya bahkan masih berbentuk 'alamiah' tanpa guratan yang disengaja.
Menurut Hasan Muarif Ambary, masa-masa datang, tumbuh dan berkembangnya unsur-unsur budaya Islam di Nusantara, menghasilkan dan meninggalkan peradaban yang secara ideologis bersumber pada Al-Qur'an dan Hadist, sementara itu secara fisikal memperlihatkan anasir kesinambungan dengan anasir budaya pra-Islam (Ambary, 1991, p. 1), tak terkecuali pada nisan. Â Ia menandaskan, salah satu sisi latar belakang sejarah budaya Nusantara adalah begitu permissive terhadap anasir apapun yang datang dari luar. Kreativitas menggubah anasir asing menjadi anasir Nusantara membentuk strategi adaptasi dalam proses seleksi sampai disosialisasikan menjadi pranata perilaku. Oleh sebab itu, masyarakat Nusantara tidak pernah menolak anasir asing, tetapi harus melewati pengayakan, pengimbuhan, pengubahan dan sebagainya.
Sehingga ada menara masjid berdiri di atas bangunan candi, kaligrafi Arab dalam bentuk punakawan atau tokoh tertentu, Maulid Nabi diperingati tabuh-tabuhan gamelan, peringatan 3, 7, 40, 100, 1000Â hari dan satu tahun kematian seseorang yang tak pernah dikenal dalam Islam sebagaimana ketika mula datang ke Nusantara (Ambary, 1991, p. 21). Pun, ada nisan-nisan yang berkaligrafi Arab dan berbentuk khas serta berinskripsi aksara Kawi atau Jawa Baru seperti yang disinggung sebelumnya. Dalam ilmu Antropologi, hal ini boleh disebut sebagai akulturasi, yakni proses perpaduan antara dua kebudayaan atau lebih sehingga melahirkan bentuk kebudayaan baru oleh suatu kelompok masyarakat tanpa menghilangkan ciri kebudayaan itu sendiri. Di luar keenam nisan tersebut misalnya, ada nisan-nisan kelompok Walisongo kecuali Maulana Malik Ibrahim, yang bentuknya masuk dalam tipe Demak-Troloyo.
Adanya tipe nisan Aceh, Demak-Troloyo, Bugis-Makassar dan bentuk-bentuk lokal di Nusantara penggolongan Hasan dari hasil penelitianya berdasarkan dimensi benda (bentuk termasuk di dalamnya), ruang dan waktu nisan, tentu saja tidak terlepas dari sebuah proses kelanjutan atau perkembangan budaya. Nisan di Nusantara pun selain memiliki sisi pakai, juga memiliki sisi hias dan simbolik. Sisi pakai yaitu nisan sebagai benda yang memiliki nilai guna sehingga bisa dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Sisi hias yaitu sebagian bentuk dan ragam hias tertentu pada nisan yang keberadaanya hanya dinikmati keindahanya saja dan digunakan sebagai hiasan. Sedang sisi simbolik, yaitu nisan menjadi suatu simbolik atau memiliki unsur simbolik yang berfungsi melambangkan hal tertentu dan berkaitan dengan kerohanian. Jadi, boleh dibilang nisan juga mengandung dimensi profan dan transedental, dimana sofistikasi nisan menjadi wujud peradaban madaniyat atau tamaddun yang didirikan di atas pondasi-pondasi agama, sehingga boleh juga disebut sebagai produk kesenian Islam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI