Mohon tunggu...
Floresita Paula Barek Goran
Floresita Paula Barek Goran Mohon Tunggu... Pelajar

Hiburan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Korupsi di balik papan tulis: Pengalaman dari instansi pendidikan negeri

29 Agustus 2025   13:47 Diperbarui: 29 Agustus 2025   13:56 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Korupsi di Indonesia bukan lagi sekadar kejahatan luar biasa yang dilakukan oleh pejabat-pejabat rakus. Lebih dari itu, korupsi telah menjelma menjadi bagian dari mentalitas bangsa. Ironisnya, praktik-praktik kecil yang dianggap sepele justru menjadi bibit awal tumbuhnya sikap koruptif. Dari budaya uang rokok, pungutan liar, beli bangku sekolah, hingga nepotisme menunjukkan korupsi tidak hanya terjadi di balik gedung pemerintahan atau ruang sidang, namun juga mengakar dalam lapisan masyarakat.

Pertanyaannya, bagaimana sebuah bangsa yang menjunjung tinggi Pancasila khususnya kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menganggap perilaku koruptif sebagai hal yang wajar? Apakah kita tengah hidup dalam masyarakat yang memelihara korupsi sebagai budaya? Jika benar demikian, pemberantasan korupsi tidak cukup hanya dengan membangun lembaga hukum yang kuat, tetapi juga harus menyentuh akar terdalam yaitu mentalitas kolektif bangsa itu sendiri. 

Kemerdekaan menurut Saya adalah ketika Saya berhasil lolos dalam seleksi nilai rapot untuk masuk ke SMA Negeri. Mengenyam pendidikan di instansi swasta sejak kecil hingga SMP membuat Saya punya kemauan untuk keluar dari zona nyaman. Biaya gratis, lingkungan yang makin beragam, pengakuan sosial yang tinggi, pikir Saya --naif waktu itu. Dan yang paling membuat Saya kagum adalah SMA Negeri menjadi jendela pertama Saya untuk bisa melihat pola hidup asli masyarakat pada umumnya. 

Sejak hari pertama Saya sebagai murid kelas 10, Saya sudah diberikan pengalaman jam kosong. Saya sudah tahu istilah jam kosong sejak SMP, namun Saya tidak menyangka akan merasakan langsung secepat itu. Dan yang paling membuag Saya terkejut adalah sikap cuek dari sebagian besar murid seolah jam kosong memang hal yang lumrah. Tidak berhenti disitu, kemerdekaan Saya terus berlanjut dengan hal-hal baru yang akhirnya Saya alami. Bisa tidur ketika jam pelajaran berlangsung, makan ketika Guru sedang menjelaskan materi, bolos, hingga menyontek.

Sebagai mantan murid sekolah swasta yang kental akan kejujuran dan kedisiplinan, tidak dipungkiri hal-hal tersebut menjadi surga duniawi yang sulit untuk ditolak. Saya bahagia, menikmati 1 semester pertama Saya dengan pola hidup baru yang cenderung merusak. Hingga akhirnya Saya sampai di titik dimana Saya menyadari bahwa pola hidup yang Saya yakini sudah tidak sehat. Ketika Saya pelan-pelan meminimalisir --bahkan meninggalkan kebiasaan Saya yang tidak sehat, Saya justru mendapat pengalaman yang kurang mengenakkan. 

Pada saat itu ketika hasil UTS keluar, nilai Saya di salah satu mata pelajaran lebih rendah dibandingkan dengan hampir seluruh murid lainnya. Alih-alih menawarkan perbaikan, Guru Saya malah memahari Saya, bertanya mengapa nilai Saya tidak tinggi seperti yang lainnya, padahal Saya tau persis sebagian besar teman Saya menyontek. Sebagai gantinya, Saya hanya diminta membelikan Guru tersebut sebuah cokelat dan bukan perbaikan tertulis. 

Itu adalah satu dari banyaknya pengalaman tidak baik yang Saya alami langsung ketika menduduki bangku SMA. Dari situlah Saya bisa menilai bahwa korupsi tidak semerta-merta datang di meja politik, namun sudah mengakar hingga membentuk sebuah pohon yang disebut mentalitas. Saya tidak sepenuhnya menyalahkan masyarakat, karena pada dasarnya kita dibentuk untuk tunduk pada hal-hal material, sehingga mudah dikendalikan oleh para pemangku jabatan. Ketakutan terbesar para pejabat yang rakus adalah rakyat yang kritis.

Masihkah ada harapan saat ini ketika seorang pemimpin menempatkan bidang pendidikan dalam kebutuhan tersier? Sistem dan fasilitas yang tidak merata, upah para pegawai pendidikan yang rendah, longgarnya aturan instansi pendidikan Saya rasa adalah cara mereka untuk menekan rakyat supaya tidak tumbuh menjadi generasi yang terdidik. Karena generasi yang terdidik akan tumbuh menjadi ancaman bagi mereka. Jika instansi negeri tidak seburuk yang Saya bilang, apakah mereka sendiri berkenan menyekolahkan putra-putri mereka ke instansi negeri tanpa memandang latar sekolah tersebut? Jika tidak berkenan, itulah bukti tidak meratanya pengembangan instansi pendidikan milik negara. 

Pada akhirnya, mereka tidak memerlukan rakyat yang berkompetensi; yang mereka perlukan adalah rakyat yang kelaparan. Karena rakyat yang lapar lebih mudah dikendalikan, lebih patuh terhadap janji kosong, dan lebih takut untuk menuntut haknya. Rakyat yang lapar jarang punya waktu atau energi untuk berpikir kritis, sehingga kekuasaan tetap terjaga dan para pemangku jabatan bisa terus mempertahankan keuntungan mereka tanpa perlawanan.

Jumat, 29 Agustus 2025

Oleh Floresita Paula Barek Goran

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun