Seekor nyamuk terbang melayang. Ia berputar – putar di sekitar tanganku. Tiba-tiba mak clep… ia bertengger di lenganku, dan mulailah mengisap darahku.
“Heh,kamu ini mengisap darah orang kok nggak permisi, kokora sraba-sraba, mencok lansung tancep….cep. Mbok ya permisi, uluk salam apa kepiye?” kataku dalam hati.
“Maaf Mas, saya sudah keburu lapar nih, jadi ya….langsung tancep saja. Toh darah Mas masih banyak….lagian saya ‘kannyamuk cantik, mencuri dikit juga nggak pa-pa to?[1]”Dengan enteng si nyamuk menjawab.
Aku terdiam, sekaligus tergelitik mendengar kata “cantik” dan “tak apa-apa”, sekalipun itu perbuatan mencuri.
Namun, kulihat dari jauh, ada seekor cicak mengintip di balik lampu belajarku. Lalu ia mendekat – menyelinap bersembunyi dekat tumpukan kamus; sepertinya ia sedang mengincar sekaligus mencari kelemahan nyamuk itu.
Sepersekian detik kemudian,
“Hup, cicak itu melahap nyamuk yang perutnya mulai penuh dengan darahku.”Cicak itupun pergi[2]. Cicak itu pergi seraya mengibas-kibaskan ekornya, tanda kemenangannya.
Aku cuma tersenyum. Tanganku selamat, sementara cicak itu mendapat “berkat.”
[1]Teringat beberapa wanita cantik yang menggunakan kecantikannya untuk mencuri. Entah mencuri hati mengambil uang negeri, entah menjual ekstasi, bahkan kecantikan juga untuk memerdaya pejabat negeri. Luar biasa kecantikan itu….
[2]Rupanya masih lebih berdaya Polisi menangkap mereka yang merasa cantik berpat-gulipat, atau rupanyaKomisi Pemberantasan Korupsi lebih pintar membekuk mereka yang merasa bisa “bermain cantik.”