Mohon tunggu...
Florensius Marsudi
Florensius Marsudi Mohon Tunggu... Manusia biasa, sedang belajar untuk hidup.

Penyuka humaniora - perenda kata.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dicinta Lima Puluh Dua Tahun

2 Oktober 2012   18:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:21 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Senin, 3 Oktober 1960, lima puluh dua tahun yang lalu, kedua orang tuaku, Antonius RS bin BPD dan Maria R binti SKP,  mengikrarkan janji setia - dalam suka dan duka - untung dan malang - di depan altar gereja santa Theresia Liseux, kampung Yogya.

Lima puluh dua tahun, sebuah kurun waktu - rentang usia - perjalanan rumah tangga yang  panjang. Perjalanan hidup berkeluarga kedua orang tuaku dalam suka dan duka, pahit dan getir apalagi ketika harus membesarkan - mendampingi anak-anak. Kedua orang tuaku menjalani hidup mereka penuh dengan cinta - rasa - dan karsa akan hikmat di hadirat Allah.

Kami berlima adalah anak-anaknya. Ada tiga perempuan, dan dua laki-laki.

Anak nomor satu, perempuan  tinggal di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Anak nomor dua, tiga dan nomor lima (laki-laki) di Jogja. Masing-masing "buruh" di kampus III - Paingan; di ekonomat CB dan di Sagan) lalu anak nomor empat (laki-laki) di Sumatra. Kami berlima adalah lima sepelukan cinta dari orang tua yang penuh keprihatinan. Dalam hidup sehari-hari, kami bukanlah keluarga orang berada - kaya, namun kedua orang tua kami membesarkan kami dengan kekayaan hidup dan bakti yang sama. Memerhatikan - mencintai - dan membagi hidup; itulah yang telah diajarkan kedua orang tua kami.

Kami pernah makan bulgur, pernah makan ubi, bahkan juga pernah makan nasi - jagung. Beruntunglah bahwa ayah-ibuku  petani tulen, punya sawah dan ladang; punya ayam dan kambing sebagai piaraan. Dari hasil bumi - pertanian, dan dari hasil pernjualan piaraan itulah kami bisa sekolah, bisa kuliah. Dari kami berlima tak ada satupun yang pernah tinggal kelas.

Kebahagiaan orang tua kami juga semakin bertambah, kala ada enam cucu dan satu cicit, luar biasa!

Kedua orang tuaku juga pegiat monogami. Ayahku cuma tamat Sekolah Guru Bawah (SGB), sedangkan ibuku "buruh", karyawati rumah sakit swasta. Kata ayahku, "bojo siji wis cukup, malah turah" (istri satu sudah cukup, malah lebih). Cukup dalam arti terperhatikan, terlayani dalam suka cita hidup. Kata ibuku, "Wong lanang siji wis ndayani" (suami satu sudah memberi kekuatan). Kekuatan itu adalah kekuatan iman, keteguhan dalam hati; saling mengisi dan mendayakan hidup agar lebih bermakna!

Ah, kami perlu belajar dan berguru pada orang tua kami, tentang apa arti cinta dan kesetiaan dalam hidup berkeluarga!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun