Mohon tunggu...
Flafiano Gunawan
Flafiano Gunawan Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa semester 4 stft

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Agama dan Kekuasaan: Hubungan Kepemimpinan Otoriter dan Nilai-nilai Keagamaan

4 Maret 2025   08:19 Diperbarui: 4 Maret 2025   08:19 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Hubungan antara legitimasi dan otoritas sangat dinamis. Otoritas tanpa legitimasi cenderung tidak stabil dan rentan terhadap tantangan. Sebaliknya, legitimasi yang kuat dapat memperkuat otoritas dan memastikan stabilitas pemerintahan. Oleh karena itu, bagi setiap pemimpin atau pemerintahan, membangun dan mempertahankan legitimasi merupakan hal yang sangat penting untuk keberhasilan dan kelangsungannya.

Keikutsertaan otoritas gereja terhadap pengaruh politik (Kontroversi sikap Uskup Agung Merauke)

Tanggal 25 September 2024, Mgr. PC Mandagi MSC didampingi Romo John Kandam sebagai Sekretaris Uskup menerima Mayjen Ahmad Rizal Ramdhani sebagai Kepala Satgas Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian. la didampingi beberapa orang lain untuk menyampaikan rencana pemerintah untuk mencetak sawah 1 juta hektar di Kabupaten Merauke.

Judul berita Liputan 6 tanggal 26 September 2024 berbunyi: "Uskup Agung Merauke Dukung Program Cetak Sawah, Proyek Kemanusiaan untuk Rakyat Papua." Dukungan Mgr. PC Mandagi MSC untuk proyek tersebut yang disebarkan dalam bentuk video dan berita segera tersebar luas.

Kasus keikutsertaan Uskup di Merauke dalam urusan politik, khususnya terkait proyek 1 juta hektar sawah, menunjukkan keterlibatan tokoh agama dalam isu-isu sosial dan politik yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Proyek ini, yang bertujuan untuk meningkatkan produksi pangan di Indonesia, mendapat perhatian karena berpotensi merubah struktur sosial dan ekonomi masyarakat lokal, terutama masyarakat adat.

Keikutsertaan Uskup dalam mendukung atau mengkritisi proyek ini bisa dilihat sebagai bagian dari peran gereja atau pemimpin agama dalam memperjuangkan kesejahteraan umat. Namun, ini juga memunculkan perdebatan mengenai batas antara politik dan agama. Di satu sisi, keterlibatan ini bisa dianggap sebagai upaya untuk memastikan bahwasannya kebijakan yang diterapkan tidak merugikan masyarakat adat atau lingkungan. Di sisi lain, ada yang berpendapat bahwa pemimpin agama sebaiknya tetap berada di luar politik untuk menjaga netralitas dan fokus pada tugas spiritual mereka.

Secara keseluruhan, situasi ini menggarisbawahi pentingnya dialog antara berbagai pihak---pemerintah, tokoh agama, dan masyarakat---untuk memastikan bahwa proyek-proyek besar seperti ini tidak hanya menguntungkan pihak tertentu tetapi juga memperhatikan keberlanjutan sosial dan lingkungan.

Seharusnya, agama perlu ditempatkan "dilangit-langit suci", sama sekali tidak disentuh oleh nafsu-nafsu kotor, atau cerut marut pergolakan sosial dan perebutan kekuasaan. Agama dipandang sebagai ajaran luhur yang selalu membawa perdamaian, cinta kasih, penghormatan pada hak-hak asasi manusia, memuliakan perempuan, dst.

Referensi:

Dr. Yuniantoro Kasi. (2021). Analisis gaya kepemimpinan otoritatis, demokratis dan Laissez Faire dalam birokrasi pemerintahan. (Jakarta pusat: Kementerian keuangan Republik Indonesia.

Arfianti Wijaya Wardhani. (2023).Gaya kepemimpinan otoriter: definisi, ciri-ciri, kelebihan, dan kekurangan. kompas.com.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun