Mohon tunggu...
Firman Kurniawansyah
Firman Kurniawansyah Mohon Tunggu... Guru - Pengajar di Surabaya

Pengajar di Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tanggal 31 Desember, Tanggal VOC Bubar

31 Desember 2023   06:43 Diperbarui: 31 Desember 2023   16:03 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Logo VOC dari Kamer - Antwerpen)

Tanggal 31 Desember, untuk kemudian berganti ke 1 Januari lazim diperingati sebagai waktu pergantian tahun. Tanggal ini juga, pada suatu masa, menjadi penanda perubahan penguasaan di tanah air kita.  Tanggal 31 Desember, di 1799, merupakan tanggal bubarnya VOC,  suatu persekutuan dagang yang kurang lebih 200 tahun mencengkeram kehidupan ekonomi, sosial dan politik bangsa kita.

Jadi awalnya VOC atau Verenigde Oostindische Compagnie itu, kongsi perusahaan dagang milik Belanda di Hindia Timur. Namanya kongsi berarti gabungan lebih dari satu perusahaan. Aktifitas utamanya bisnis komersial lewat jual beli rempah semacam pala, cengkih juga lada.  Tapi karena kondisi waktu itu di kepulauan kita banyak hadir kekuatan Eropa untuk kepentingan sama, yakni berdagang, macam Portugis, Spanyol, Denmark, Perancis dan terutama Inggris, maka VOC diberi Hak Istimewa oleh pemerintahnya, namanya Octrooi. Wilayah operasi VOC  - atau nama Eropa-nya Octrooigebied - juga tidak melulu di Hindia Timur sebenarnya. Tetapi wilayah Octrooi VOC membentang dari Tanjung Harapan di Afrika Selatan sampai Dejima di Nagasaki, Jepang. Cuma yang paling banyak dapat menyumbang duit adalah kegiatan dagang di Kepulauan Hindia Timur, atau Kepulauan Indonesia kita yang subur makmur ini.      

Hak Octrooi dimaksudkan agar VOC lebih mudah menjalankan misi dagangnya. Lewat Octrooi, VOC dapat bertindak seperti suatu negara. Bikin mata uang, bikin perjanjian dengan para penguasa lokal, bikin pasukan dengan rekrutan dari manapun: - orang Eropa, Asia Timur ataupun suku – suku setempat - , membangun benteng, kemudian menyatakan peperangan, menyatakan perdamaian, bikin pengadilan, menarik pajak dll. Padahal VOC itu sebenarnya, cuma sebuah perusahaan, gabungan bisnis para cukong di Belanda. Tetapi kongsi bisnis VOC jelas bukan main – main, karena aset perusahan VOC, konon kata si empunya data, merupakan yang terbesar dalam sejarah bisnis multinasional modern. Di puncak kemasyhurannya sekitar tahun 1699, VOC memiliki sekitar 150 perahu dagang kelas wahid, 40 kapal perang, 50 ribu pegawai dan pekerja, 10 ribu personel militer aktif, dengan dividen hasil laba buat para pemegang sahamnya hingga 40 %. Kalau diukur pakai skala Abad ke – 21, aset kekayaan VOC masih lebih besar daripada gabungan perusahaan macam Google, tambah Microsoft, tambah Apple, tambah Wells Fargo, tambah Bank of America, plus Saudi Aramco serta tambah sekitar 14 perusahaan besar dunia yang beroperasi pada saat ini.  

Dengan kontrol dari Dewan Pusat di Negeri Belanda, bernama Heeren Zeventeen, atau Dewan 17, VOC melakukan kegiatan bisnis internasionalnya, termasuk di Indonesia. ‘War for trade, trade for war’ itu semboyan VOC saat merampok kekayaan, utamanya, di Hindia Timur, lewat payung kompetisi dagang internasional.

Usaha VOC berkembang pesat setelah berhasil merebut Pelabuhan Kalapa dari Banten, dan menggantinya dengan kota bernama Batavia di 1611. Batavia kemudian menjadi pusat kegiatan perusahaan yang sebelumnya berada di Ambon. Dari sini, sayap bisnis VOC mengepak ke mana - mana. Para penguasa dan kekuatan lokal berhasil ditekan. Kalau bisa dinegosiasi, maka yang bersangkutan menjadi sekutu VOC dengan bermacam keistimewaan. Misalnya berupa bantuan militer, cipratan konsesi bisnis, hadiah barang mewah dari Eropa dll. Kalau menentang VOC, maka alamat buruk, sebab kalau tidak ditangkap atau dibuang jauh dari kampung halaman, penguasa – penguasa itu ya ‘diselesaikan’ secara kejam.

Tapi pada akhirnya, seperti kata para bijak, tidak sesuatupun di dunia ini yang dapat mengingkari putaran roda suatu masa. VOC yang jaya dan kaya raya itu pada akhirnya pun tergelincir, bahkan kemudian tenggelam sama sekali. Urusan politik berkelindan bisnis seringkali menguras kas perusahaan secara besar - besaran. Utang menumpuk di banyak kreditur. Korupsi merajalela di seluruh tingkatan organisasi perusahaan - yang sering kita sebut secara tradisional sebagai ‘Kompeni’ ini. Profit perusahaan ditilep masuk kantong pribadi para oknum VOC. Misalnya saja ada kisah tentang Cornelis Speelman, petinggi VOC, kelak jadi Gubernur Jenderal di Batavia, yang memakai begitu saja uang perusahaan untuk membelikan hadiah perhiasan mewah untuk istri tercinta, Petronella Maria Wonderarer, tanpa harus melewati proses administrasi yang jelas. Belum lagi perang berkepanjangan dengan bebuyutan orang - orang Belanda masa itu, Inggris, yang pada akhirnya membuat kantong tebal VOC jadi kempes akut.

Sehingga tanggal 31 Desember 1799, VOC secara resmi dinyatakan bubar. Seluruh aset serta hutang bisnis VOC sebagai perusahaan pailit, termasuk wilayah Hindia Timur atau Indonesia kita ini, dioper jadi properti resmi Pemerintah Kerajaan Belanda, terhitung mulai 1 Januari 1800. Status fisik kita sebagai koloni kemudian berubah penguasaannya,  hingga nanti beberapa kali ganti tuan, sampai tercapainya Proklamasi 1945. Sementara status serta kondisi mental kita akibat warisan Jaman VOC berlangsung sampai lama sekali. Sikap warisan seperti mental inferior sebagai orang inlander, gampang minder ataupun terkesima dengan yang berbau asing terutama dari yang berkulit putih atau kulit terang lain, gampang tergiur keuntungan materi meskipun sesaat, masih tertanam kuat di batin kebanyakan orang kita. Termasuk juga penyakit birokrasi warisan jaman itu - yang kita coba obati sejak Reformasi 1998 tetapi masih belum menuai banyak hasil - terutama korupsi, beserta saudaranya; kolusi dan nepotisme, sepertinya masih jadi warna meriah di budaya maupun tradisi kita, hingga, barangkali; sampai hari, jam maupun detik ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun