Mohon tunggu...
fahmi karim
fahmi karim Mohon Tunggu... Teknisi - Suka jalan-jalan

Another world is possible

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bom Bunuh Diri: Agama, Demokrasi, atau Ekonomi?

31 Maret 2021   04:33 Diperbarui: 31 Maret 2021   10:28 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: kumparan.com

Implikasinya, agama bisa juga dikatakan sebab dari bom bunuh diri. Jika agama sudah jelas dengan sendirinya, apalagi persoalan kekerasan, tidak mungkin menyebabkan orang melakukan bom bunuh diri, yang melibatkan banyak orang, di depan rumah ibadah; sasarannya jelas.

Bisa kita katakan, penafsiran hanyalah fakta kedua dari fakta pertama bahwa agama menjadi fondasi dari tafsiran, meski beda tafsiran.

Jika kita memberikan pendapat bahwa agama bukanlah dalang dari kekerasan yang dibuat oleh beberapa kolompok orang, bagaimana jika kelompok itu pernah berbuat hal yang benar sesuai dengan tafsir agama yang kita jalani? Lantas sekaligus kelompok itu benar dan salah?

Artinya kita terlebih dahulu menyingkirkan kemungkinan salah tafsir dari agama tanpa melihat tafsir apa yang digunakan oleh seseorang atau kolompok dalam menafsir agama.

Bagaimana dengan Demokrasi?

Jika benar dari agama, demokrasilah yang patut kita tinjau. Dalam arti ini, cara kita memahami apa itu demokrasi. Demokrasi memberikan ruang bagi kita untuk berekspresi dari sudut mana saja, dalam bentuk pikiran.


Demokrasi adalah suatu "metode" dari cara kita berpolitik. Maksudnya, sekalipun kita bodoh dalam mengambil keputusan, demokrasi tetap menjamin kebodohan kita karena sistem demokrasi berbasis pada hak individu. Jika sistem politik berdasarkan "tujuan", untuk kebaikan seluruh warga negara, maka kebodohan itu bisa diintervensi karena merugikan kepentingan publik jika kebodohan itu dilibatkan dalam pengambilan keputusan, terutama masalah publik.

Kesalahan dalam menafsir awalnya dibiarkan oleh sistem demokrasi. Bahkan dijamin. Tapi apakah negara melalui instrumennya mesti menginterupsi model salah tafsir agama ini? Di sini kita akan berdebat mana yang terbaik bagi publik.  

Pemahaman masyarakat akan demokrasi hanya sebatas pikiran yang perlu diakomodir dan dihargai. Meski kita berdebat bahwa pikiran hanyalah sekadar pikiran, apa jaminan bahwa pikiran tidak menggerakkan tubuh kita? Bahwa pikiran yang membuat kita melangkahkan kaki dan menggerakkan tangan?

Kita belum cukup pintar untuk membiarkan masalah publik ke publik. Persilangan kepentingan, persilangan pemahaman, kurangnya literasi (yang menjadi syarat urusan publik diserahkan ke publik), menjadi kesulitan dalam mengontrol seseorang atau kelompok untuk menyerobot ruang publik.

Poinnya: sistem demokrasi Indonesia yang dipahami hari-hari menjadi pemantik awal seseorang mengimani salah tafsir. Sistem yang hanya berbasis pada hak individu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun