Mohon tunggu...
fahmi karim
fahmi karim Mohon Tunggu... Teknisi - Suka jalan-jalan

Another world is possible

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sore yang Sama di PKL Pantai Malalayang II

3 Februari 2021   01:48 Diperbarui: 3 Februari 2021   08:48 634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekadar ingin kembali membakar jiwa yang mulai tenang dengan situasi, saya menyempatkan waktu untuk mampir di tempat gorengan pinggir pantai Malalayang II. Kurang-lebih lima bulan tidak bersua dengan mereka. Meski covid-19 ingin memutus interaksi langsung antar manusia, namun tetaplah sebuah keterasingan jika tidak melihat raut wajah secara langsung, secara detail; keterasingan adalah jika manusia tidak bertemu satu sama lain.

Tidak seperti PKL pada umumnya di Manado, yang beda dari PKL pantai Malalayang II adalah tradisi protes yang telah lama tumbuh. Ini yang selalu ingin saya pelajari, di samping sebuah apresiasi. Selain itu, tentunya suara dan raut wajah yang ramah. Saya selalu jadi pendengar yang baik dan mereka selalu tidak kehabisan cerita. Apa saja mereka ceritakan. Mulai dari harga minyak yang naik, sampai harga diri manusia yang sering dicabik-cabik. Hampir segalanya.

Tempat ini selalu ramai, apalagi jika hari libur. Mungkin bukan saja karena penjualnya ramah, tapi lokasi ini memang betul-betul strategis: di pinggir pantai, di pinggir jalan umum. Menghadap Manado Tua dengan luas lautnya yang seketika berubah jingga saat matahari perlahan hilang: katakanlah sebuah ruang transit berkendaraan jika orang ingin balik ke Bolaang Mongondow, atau Minahasa Selatan, atau ingin ke Manado. Atau mungkin sekadar menikmati waktu luang. Bersama keluarga, bersama pacar, sama-sama bikin tenang.

Meski hujan belum menyelesaikan tugasnya, masih gerimis, saya tetap memaksakan tubuh untuk ke sana. Kali ini tidak ingin bahagia sendiri, saya mengajak tiga orang teman, dengan dua sepeda motor, saling berboncengan.

Meski tidak bersama pacar, tapi teman yang berboncengan dengan saya cukup asyik untuk ngobrol di atas sepeda motor. Sementara teman yang lain adalah dua sejoli. Rintik-rintik hujan malah menambah mesra putaran demi putaran roda sepeda motor mereka, sambil memainkan kaca spion tepat di wajah. Sedikit-sedikit tertawa. Saya? Tidak....  Tegang dengan urusan aspal jalan kota yang berlubang dan baliho-baliho parpol yang membuat sesak dada.

Seperti biasa, selalu disambut dengan basa-basi jika sampai di sana.

"Kira so lupa," langsung disambut Ci Mey dengan tawa.

Lima bulan bukan waktu yang singkat. Meski selalu saling memberi komentar di Facebook, tapi apalah arti sebuah gawai dalam hubungan yang semestinya? Tidaklah cukup untuk manusia-manusia yang butuh suara, tuturan, dan raut wajah secara langsung tanpa diperantarai robot.  

Saya mengajukan sejumlah pertanyaan, sejumlah antrian pertanyaan sejak wilayah ini mulai dipagari dengan seng. Meski saya tahu bahwa ini penanda penataan lokasi PKL sesuai dengan kesepakatan yang telah dibangun sejak lama. Tapi untuk mulai menghangatkan percakapan, baiknya saya mulai dari situ.

Wilayah ini sudah beberapa kali digusur dengan alasan penataan kota. Alasannya karena wilayah itu sebagai pintu masuk kota -- meski jika bertolak dari batas Kota Manado  dan Kabupaten Minahasa Selatan, Malalayang II bukanlah pintu masuk, tapi hanya kebetulan tempatnya strategis sehingga bisa dianggap sebuah pintu masuk. Dibuatlah simbol "welcome" biar lebih meyakinkan.

Dulunya tempat ini dikenal sebagai Kios Sabua Bulu. Saya masih ingat waktu masih Sekolah Menengah Pertama (SMP) saat ke Manado. Jika sudah melewati kios-kios bambu yang berjejeran di pinggir pantai tandanya sudah sampai di Manado, meski tidak pernah singgah. Hehehe....

Menurut keterangan Om Buli, selaku ketua Asosiasi Pedagang Wisata Kuliner Pantai Malalayang II -- sebuah asosiasi yang dibentuk guna untuk merapikan solidaritas PKL pantai Malalayang II - awalnya penduduk di seputaran pantai Malalayang II dipindahkan di Desa Kalase II, sekitar tahun 1980an. 

Tempat itu, pantai Malayang II, beberapa menjadi lahan kosong. Penduduk yang masih tinggal memanfaatkannya dengan membuka Pariwisata Malalayang II tahun 1985/86. Dari saat itu pesisir pantai mulai dikelola oleh penduduk Malalayang II dengan menyewakan alat-alat untuk berenang di pantai, juga berjualan jajanan gorengan; PKL pantai Malalayang II mulai ada.

Tahun 2004 disahkan oleh Menteri Pariwisata kemudian berganti nama menjadi Wisata Kuliner Pantai Malalayang II. Di tahun yang sama juga penggusuran dilakukan oleh Pemerintah Kota Manado. Setelah penggusuran, dilakukanlah penataan. Diberikan kembali ruang untuk berjualan.

Tahun 2010 Pemerintah Kota Manado kembali melakukan penggusuran PKL Wisata Kuliner Pantai Malalayang II. Untuk beberapa waktu tidak bisa berjualan di tempat tersebut. Tradisi protes kembali diteruskan.

Protes membuahkan hasil, pemerintah menata wilayah pantai untuk PKL, didirikan kios-kios dengan bambu, dan sejak saat itu dikenallah tempat itu sebagai "Kios Sabua Bulu". Namun, tahun 2017 kembali digusur dengan alasan yang masih sama: penataan. Protes tetap lancar, membuahkan hasil juga: kembali berjualan meski hanya sementara.

"Masa-masa itu sulit. Torang bajual nyanda pake tenda. Jadi kalo ujang, torang brenti bajual. Trus lari samua ka sana ka mari karna nda ada mo ba somber akang," Ci Mey menjelaskannya sambil tertawa. Tidak sekadar mencintai nasib (amor fati) seperti dalam konsepsi "Manusia-Unggul" Nietzsche yang tak lagi terjebak pada pengiyaan pasif seperti budak, namun menghidupi kenyataan sembari meledeknya. Itulah model bagaimana menghadapi hidup yang saya terus belajar dari mereka.

Seperti yang sudah-sudah, saat kami sampai di PKL pantai Malalayang II, meja selalu penuh dengan gorengan. Tak lupa pula teh hangat. Masing-masing kios seakan ingin berebut siapa yang lebih dulu menyuguhkan gorengan di atas meja. Dan kita menikmatinya dengan senang hati.

Sambil menikmati lantunan tembang Pance Pondang, Untuk sebuah Nama, dari karaoke seorang pengamen dengan speaker aktif mini-nya, laut yang tidak lagi memberontak, matahari yang diam-diam turun tanpa dapat diidentifikasi, gorengan di meja juga teh yang tidak lagi hangat dan kami berempat yang kagum-kagum sendiri, sore di PKL pantai Malalayang II masih tetap hangat seperti lalu-lalu.

Dari ketinggian gedung Manado, 03 Februari 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun