Mohon tunggu...
Akun Ini Telah Pindah
Akun Ini Telah Pindah Mohon Tunggu... -

migunani tumraping liyan

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Saling Mengingatkan, yuk ... (3)

11 Maret 2011   02:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:53 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sleman,16Jan2011

(sambungan)

aku

...Sudah dua minggu ini aku tak kerja malam. Berkali-kali Kadip memaksa, dan berulang-ulang pula aku diancamnya akan diusir bila tak mau bekerja. Tapi aku tak menggubrisnya. Yang ingin kulakukan sekarang hanyalah menyendiri. Ya, sendiri saja.

Seperti sore ini, aku berjalan susuri Sungai Code. Berkali-kali rayuan gombal kuanggap seperti gonggongan belaka.

Langkah ini terhenti ketika tiba-tiba, ”Mba Ayiiiiinnnn....” suara panggilan yang tak asing bagiku.


Ternyata Diva. Ia melambai padaku didepan sebuah masjid. Kuhampiri dia.

Kog lama ga main ke rumah Bu Wira?” tanyanya dan hanya kubalas dengan anggukan senyum. Ia langsung menggandeng tanganku dan berjalan mendekati masjid. Tapi aku sadar akan sesuatu, lalu kutahan langkahku. Tampak seseorang keluar dari masjid.

”Pak Ustadz, ini Mba Ayin. Dia pingin belajar Al Quran....,”

Spontan kutatap Diva dan kugelengkan kepala, tapi dia hanya nyengir saja.

Oh alhamdulillah...silakan masuk Mba,” ucap Ustadz itu.

”Maaf Pak eh Mas, Nggak eh sa..saya tidak boleh kesana.”

Loh kenapa Mba? Ada Ustadzah juga kog. Apa saya panggilkan dulu?” tawarnya.

”Jangan Mas, terima kasih.”

”Mba Ayin kog ga mau? Nanti aku juga ga mau masuk,” ucap Diva, masih pegangi erat tanganku.

Seorang wanita keliatan muncul dari dalam, dari busananya dia pasti Ustadzah. ”Eh Mba kita pernah ketemu ya... Mba yang jualan buah itu kan?”

Oooh ternyata wanita yang dulu pernah membeli dagangan jerukku.”Iya Bu...”

Mmm...Sebelum saya masuk, bolehkah saya bicara berdua dulu dengan Ibu?” pintaku singkat. Ustadzah itu pun mengangguk ramah. ”Diva masuk dulu ya, nanti Mba Ayin nyusul,” tambahku. Diva tersenyum girang, kemudian ia berlari kecil masuk masjid bersama Ustadz.

Di halaman luar masjid ini, ”Mba eh Bu...,”

”Mba saja biar lebih akrab... nama saya Suci” sambutnya dengan seulas senyum tak dapat kulihat karena terhalang cadarnya, namun masih bisa terdengar jelas olehku.

eh iya Mba Suci..saya Ayin...sebenarnya saya ingin bercerita, tapi ...” bimbangku dalam. Kupandangi kemejaku yang kancingnya terbuka semua hingga kaos dalamku kelihatan ketat didada dan perutku. Kututup bagian itu tanpa kukancing, sembari kuayunkan rambutku yang panjang kedepan, agar daerah dadaku tertutupi.

”Tapi kenapa Mba Ayin?” tanya Ustadzah lembut.

”Saya ragu... Mba akan menerima cerita saya ini.”

”Mba Ayin. Setiap cerita pasti ada ibrohnya.” tambahnya ”Ibroh adalah pelajaran hidup yang dapat kita ambil Mba. Sebagai seorang teman, tentunya saya senang bisa berbagi pengalaman.”

Akhirnya aku menceritakan kelamnya hidupku. Tentang aku yang telah kehilangan kesucian yang mungkin baginya adalah harga mati untuk masuk surga. Tentang aku yang tak lagi punyai keluarga. Tentang aku yang tak pernah tahu apa itu agama. Tentang aku yang selalu alami kehampaan jiwa dibalik goda tawaku.

Seluruh ceritaku telah didengarnya.

Perlahan kucoba pandangi matanya pada celah kain cadar itu. Ternyata... dari mata indah itu aku tahu, dia tersenyum! Malah dia pegangi tanganku dengan erat!

”Mba Ayin...setiap manusia pasti pernah memiliki dosa.” katanya, sambil mendekat ke arahku, ”Nah, ajaibnya, Alloh itu Maha Pengampun dosa loh. Kalau kita benar-benar bertaubat, mengakui kesalahan dan berjanji akan menjaga diri dari perbuatan itu lagi, maka Alloh pasti akan memenuhi janji dengan kebahagiaan jiwa,”

Kata-katanya ini benar-benar menggetarkan kalbuku. Tak kuasa lagi kubendung derai tangis ini.

”Mbak Ayin...” ia peluk erat-erat diriku! Terasa sejuk dalam rengkuhannya itu.

Ayuk kita masuk.” tambahnya, ”Kita belajar agar bisa raih cinta Alloh,”

”Saya merasa tidak pantas Mba Suci. Saya penuh noda,”

”Saya ajari bersuci yuk, insyaAlloh amalan kita akan diterimanya.”

Kelegaanku bertambah dalam, ketika Diva menyambutku dengan senyum riang.

***

Seminggu berlalu. Aku diusir dari kamarku, karena memang rumah itu milik Kadip. Beruntung aku ditampung Bu Wira. Meski begitu, tak layak bagiku tuk terus-terusan menumpang.

***

Sore itu, di masjid

”Mba Suci... saya mulai senang memakai kerudung seperti sekarang. Lebih merasa tenang dan...seperti terlindugi gitu” kataku hendak curhat maksudnya, ”Tapi maaf Mba...saya benar-benar tidak mau memakai cadar.” kalimat terakhir ini kukatakan pelan, khawatir dia kecewa. Bagiku dia sudah kuanggap kakakku sendiri.

”Mba Ayin...”

Seperti biasa tatapan lembut itu kembali berikan suatu kenyamanan.

”Kemarin saya sudah menjelaskan tentang aurat wanita, nah, Mba juga telah tahu bahwa kata aurat itu artinya adalah aib. Jadi orang yang mengumbarnya berarti sama dengan mengumbar aibnya sendiri.” terangnya ”Mba...kalau cadar itu memang ada yang berbeda pendapat. Artinya, banyak yang mengatakan wajib, namun tak sedikit ulama yang mengatakannya sunnah.”

”Mba Ayin boleh saja meyakini bahwa cadar itu sunnah. Kemarin juga sudah saya jelaskan tentang arti wajib dan sunnah kan?”

Aku mengangguk paham.

Nah, tapi ada hal pasti yang wajib dijalankan kita Mba Ayin...” aku semakin fokus.

”Alloh memerintahkan agar kita menjaga kehormatan ini. Salah satu caranya adalah dengan menjaga diri dari segala nafsu yang mungkin mengancam kita.”

"Maaf Mba Suci, berarti yang salah para hidung belang dong, kan mereka yang ngliatin wanita jelalatan?"

"Mba Ayin... saya kog masih senang ya dengan pepatah lebih baik mencegah daripada mengobati sesal."

Aku pandangi keseluruhan pakaianku yang setengah-setengah ini. Akhirnya aku paham...

”Mba Ayin... mau gak kerja ditempat paman saya?,” tiba-tiba ibu dua anak itu lebih mendekat.

Aku merasa salah dengar, ”Apa, apa Mba Suci?”

”Paman saya punya beberapa mesin jahit. Beliau bisa mengajari Mba Ayin ketrampilan menjahit. Nah, ntar langsung kerja disitu deh.”

”Tapi Mba Ayin harus mau pindah dari rumah Mba yang sekarang, trus tinggal bersama karyawan lain di rumah paman di Bandung. Saya pingin banget Mba lepas dari suasana kelam masa lalu,”

Aku tak salah dengar! Aku tak bermimpi!

Saat ini ingin kuucapkan segenap rasa syukurku kepadaNya.

Sujud cintaku untukNya.

-tamat-

maaf lahir batin

fajar nugroho

nb : mohon maaf bila ada kesamaan nama

----

curhat = curahan hati

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun