Sudah seminggu suaminya tak pulang ke rumah. Kepala Mak Ratap semakin berdenyut. Kemarin malam, empunya rumah datang untuk mengingatkan agar sewa rumah dibayar lunas minggu depan. Tak boleh mencicil, apalagi sampai terlambat.
Sejak pagi si bungsu mengigau. Tubuhnya panas. Mak Ratap semakin kehilangan akal. Obat penurun demam yang ia minumkan tak juga membuahkan hasil. Si bungsu bahkan sudah muntah dua kali. Sekarang ia bukan hanya mengeluh, namun sudah berteriak-teriak menyemburkan kemarahannya.
“Awas saja kalau dia pulang! Aku takkan membukakan pintu! Seenaknya saja meninggalkan anak-istri. Memangnya, kami mau disuruh makan batu?” Mak Ratap berjalan hilir mudik di ruang tamu yang sempit.
“Sabar, Mak,” kata Jeng Ida sambil memegang kening si bungsu. “Mungkin dia sedang usaha cari uang. Bagaimana kalau si bungsu kita bawa berobat saja dulu?”
“Uangnya dari mana? Beras saja sudah habis. Sore ini, kami sudah tak makan lagi. Aku harus bagaimana? Apa dia nggak memikirkan kami? Jangan-jangan… dia mau lari dari tanggung jawab!”
“Begini saja, pinjam dulu uangku. Kebetulan, aku masih punya sedikit. Bapaknya anak-anak ada rejeki lebih kemarin,” bujuk Jeng Ida.
Sepasang mata Mak Ratap bersinar-sinar. “Serius, Jeng? Terima kasih.”
Jeng Ida mengangguk. “Tapi… jangan lupa bunganya.” Tetangganya itu mengedip penuh arti.
Mak Ratap menggangguk buru-buru. Ia tahu betul watak tetangganya itu. Tapi saat ini, ia tak punya pilihan lain. “Sebentar, aku siap-siap dulu. Temani aku membawa si bungsu, ya.”
Tepat saat Mak Ratap selesai berganti pakaian dan keluar dari kamar, suaminya memasuki rumah. Jeng Ida segera pamit setelah tersenyum manis pada suaminya. Tetangganya itu juga berpesan agar Mak Ratap mampir ke rumahnya untuk pergi berobat bersama-sama. Biasanya, ia pasti berang bila perempuan itu bersikap begitu. Tapi kali ini, ia tak mempedulikannya. Kemarahannya sedang bergelora.
“Dari mana saja kau? Kau sengaja meninggalkan kami? Beras sudah habis. Si bungsu sakit. Ka…” kata-kata Mak Ratap terhenti saat melihat penampilan suaminya, “baju itu… dari mana kau mendapatkannya?”