Gigil pagi merambati pucuk hidungmu. Kepulan uap pertama nafasmu kuabadikan tergesa dalam sekali bidik. Klik. Kamu terkejut dan menoleh. Pipimu merona senang.
“Dasar pencuri.”
“Selamanya aku akan mencuri hatimu. Boleh?” godaku menikmati keriangan yang tiba-tiba berloncatan dalam dadaku.
Kamu merentangkan tangan lebar-lebar untuk memeluk pagi berkabut, lalu membuang pandang seakan tiada peduli. “Kamu takkan bisa,” gumammu.
“Jangan menantangku,” aku membidik sekali lagi, “kamu takkan pernah tahu, Nona.”
“Justru sebaliknya, kamu yang akan terkejut,” katamu mengedipkan mata, bertolak pinggang dan tersenyum lebar.
Klik.
***
Kamu belum tahu, senyum itulah yang telah membuatku kalang kabut tiga tahun yang lalu. Gadis berbaju hijau bintik-bintik putih yang tak sengaja kutemui pada hari pendaftaran ulang mahasiswa. Gadis yang meminjamkan sebuah pena saat peluhku mengucur deras akibat keteledoranku. Gadis yang menawarkan segelas air mineral. Gadis yang berhasil menenangkanku. Kamu.
Tahun-tahun yang penuh warna. Tawa, perdebatan, kekonyolan dan cerita tentang masa depan. Puncak-puncak gunung menjadi saksi perjalanan kecintaan kita pada ketinggian. Pada hijau dedaunan, hewan liar, jejak kaki, udara bebas, dan kebebasan itu sendiri. Perjalanan yang takkan pernah usai, hanya terhenti ketika kita mendendangkan lagu tentang rumah di depan api unggun yang menyala-nyala.
Ketika kita pulang, sebenarnya jiwa kita tak pernah kembali. Goresan penamu selalu membawaku berkelana menuju tempat-tempat yang belum pernah kita singgahi. Kamu meramu keindahan dan petualangan dalam satu keajaiban, hingga aku jatuh hati berkali-kali pada kalimat-kalimat sihirmu. Padahal, senyummu sendiri adalah sihir yang membelenggu.