Keracunan makanan program Makan Bergizi Gratis (MBG) semakin disorot publik, selepas beberapa daerah seperti Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Garut menetapkannya sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). Pemerintah pusat dan daerah turun tangan berupaya menanggulangi KLB MBG agar tidak ada lagi anak-anak yang mengalami keracunan makanan.Â
Satu hal yang menjadi bahan perbincangan publik, yaitu berkaitan dengan penyebutan istilah dan status insiden dari program MBG. Dalam wawancara dengan Tempo yang dipublikasikan 27 September 2025, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana menyebut dengan istilah gangguan pencernaan pada penerima manfaat program MBG karena kualitas menu yang diberikan tidak segar lagi, bukan keracunan.
Dari beberapa laporan insiden program MBG lainnya, ada yang menyatakan kasus yang terjadi bukan keracunan, tapi alergi. Ada pula "pergulatan" definisi KLB MBG, yang mempertanyakan soal kemungkinan keracunan program MBG berstatus KLB Nasional.Â
Variasi istilah dalam insiden MBG justru membuat warganet di media sosial bingung, 'Terminologi istilah apa yang sebenarnya digunakan? Sudah jelas kasus yang terjadi ya namanya keracunan makanan. Beda dengan alergi.'Â
Kita melihat insiden MBG tak sekadar gangguan pencernaan umum dan alergi yang biasa dialami satu atau dua anak, melainkan keracunan makanan yang dialami ribuan anak. Artinya, sudah tahap keracunan massal dari mengonsumsi makanan yang sama. Kejadian ini bisa cepat terjadi dalam hitungan jam setelah makanan dikonsumsi.
Yang paling penting sekarang, penanggulangan insiden keracunan MBG harus segera terkoordinasi. Kita ingat bahwa program MBG merupakan program prioritas Presiden RI Prabowo Subianto. Dalam hal ini, penanggulangan keracunan MBG boleh dibilang ditangani secara nasional dan lintas kementerian/lembaga walau status KLB ditetapkan oleh pemerintah daerah masing-masing.
Tidak ada padanan istilah KLB Nasional, cukup ditulis "KLB" saja
Ada yang perlu diluruskan mengenai status KLB Keracunan Makanan dari program Makan Bergizi Gratis. Ketika bicara menggunakan istilah "KLB Nasional" terkesan terdapat pemisahan antara KLB di daerah -- yang mungkin dipahami sebagai "KLB Daerah" -- sehingga status KLB Daerah dapat naik menjadi KLB Nasional.Â
Sebenarnya, tidak ada padanan istilah "KLB Nasional" di dalam regulasi, bukan pula diharfiahkan sebagai "KLB Daerah" lantaran kejadiannya di daerah dan penetapan status oleh pemerintah daerah. Penulisan umum cukup dengan menggunakan istilah "Kejadian Luar Biasa atau disingkat KLB." Tidak perlu ditambahkan dengan penyebutan "KLB Nasional."
Penetapan status KLB sendiri memang bisa dilakukan oleh pemerintah pusat (Menteri) atau pemerintah daerah (kepala daerah). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, bupati/wali kota, gubernur atau Menteri harus menetapkan KLB jika pada suatu daerah tertentu terdapat penyakit atau masalah kesehatan yang memenuhi kriteria KLB.
Penetapan KLB oleh Menteri dapat dilakukan jika terdapat penyakit atau masalah kesehatan yang memenuhi kriteria KLB di suatu wilayah terjadi peningkatan kasus secara signifikan, dan Pemerintah Daerah belum menetapkan status KLB dalam jangka waktu satu kali masa inkubasi untuk penyakit menular atau 14 hari untuk masalah kesehatan; dan/atau luas wilayah terdampak KLB meliputi lintas provinsi.