Sinyal hijau perizinan untuk membuka cabang rumah sakit asing di Indonesia menjadi obrolan hangat di media sosial. Perizinan rumah sakit asing ini sejalan dengan buah kesepakatan Perjanjian Kerja Sama Ekonomi Komprehensif (Comprehensive Economic Partnership Agreement/CEPA) antara Indonesia dan Uni Eropa, yang disampaikan Presiden RI Prabowo Subianto pada 13 Juli 2025.
Reaksi publik terhadap kesepakatan boleh dibukanya cabang rumah sakit asing cukup beragam. Sambutan baik seperti 'Bagus banget, supaya orang Indonesia enggak usah jauh-jauh berobat ke negara tetangga. Kualitasnya pasti sama kayak di negara asalnya; jadi persaingan sehat nih buat rumah sakit lokal, biar makin semangat tingkatkan pelayanan.'
Komentar lainnya berisikan kurang setuju, misalnya, 'Kenapa enggak meningkatkan akses pelayanan kesehatan di dalam negeri saja? Masih banyak PR itu. Masalah tenaga medis, tenaga kesehatan juga belum merata; nanti rumah sakit asingnya adanya pasti di kota besar juga. Bukan pemerataan namanya; nasib rumah sakit lokal nanti gimana?'
Kita menangkap komentar-komentar publik yang secara garis besar ikut mempertanyakan, 'Seberapa urgent membuka cabang rumah sakit asing? Yakinkah nanti orang Indonesia bakal ogah berobat ke luar negeri? Persebaran tenaga medis dan tenaga kesehatan lokal nanti gimana? Yang berobat ke rumah sakit asing, orang kaya aja atau umum?'
Pertanyaan di atas sekiranya dapat dipertimbangkan tatkala rencana dibukanya rumah sakit asing hendak diimplementasikan. Pemerintah perlu menimbang berbagai saran dan sudut pandang sekaligus menjawab keresahan publik terkait rumah sakit asing. Â
Hal yang patut dijelaskan secara rinci oleh Pemerintah, pertama adalah rumah sakit asing seyogianya bukan sekadar sebagai sebuah kesepakatan yang menguntungkan, melainkan penambahan fasilitas kesehatan yang benar-benar kita butuhkan bersama.Â
Kedua, situasi global membuka peluang Indonesia bekerja sama dalam bidang apapun, termasuk kesehatan. Tata kelola rumah sakit asing yang bijak memungkinkan Indonesia selangkah lebih maju. Namun, perlu juga ditekankan, hal itu tidak mengesampingkan upaya kemajuan pelayanan kesehatan rumah sakit di dalam negeri.
Diplomasi kesehatan, terobosan akses top internasional
Kesepakatan boleh membuka cabang rumah sakit asing di Indonesia bisa dikatakan bagian dari diplomasi kesehatan. Meskipun perjanjian CEPA lebih utama berfokus dalam hal ekonomi, perdagangan, dan investasi, potensi meningkatkan kesehatan seperti membuka akses rumah sakit asing dapat ikut terangkat.
Sebelum menengok kesepakatan CEPA Indonesia-Uni Eropa, semangat kolaborasi Program Kerja Sama Ekonomi dalam Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia dan Australia (IA-CEPA ECP) telah terjalin. Salah satu wujud manifestasi di bidang kesehatan berupa pembangunan Aspen Medical Hospital di Depok, Jawa Barat dan Makassar, Sulawesi Selatan.
Aspen Medical merupakan perusahaan penyedia solusi perawatan kesehatan global yang berpusat di Australia. Perusahaan ini satu-satunya organisasi komersial di dunia yang diakreditasi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai Emergency Medical Team untuk manajemen wabah penyakit menular dan operasi bedah trauma.
Manifestasi dengan Aspen Medical memberikan kita gambaran, masyarakat bisa memeroleh akses layanan dan peralatan diagnostik yang lebih maju. Pelayanan kesehatan pun terbuka buat semua masyarakat, misalnya Aspen Medical di Makassar untuk menghadirkan jaringan fasilitas kesehatan bertaraf internasional di wilayah Indonesia timur.Â
Begitu pula dengan perjanjian CEPA Indonesia-Uni Eropa, diharapkan rumah sakit yang membuka cabang nantinya ibarat oase bagi masyarakat luas dari berbagai kalangan. Terlebih lagi, rumah sakit asing yang bersangkutan punya reputasi top di Eropa.Â
Kita berandai-andai rumah sakit terbaik di Eropa seperti Grande Ospedale Metropolitano Niguarda (Italia) yang merupakan jaringan pusat penanganan penyakit langka, jika buka cabang di Indonesia, ekspresi awal pasti yang keluar 'Wah, mantap, luar biasa.'
Gaet investasi asing, tenaga medis WNI tetap dijaring
Dibukanya izin rumah sakit asing dari kesepakatan CEPA Indonesia-Uni Eropa dapat menggaet pundi-pundi investasi asing. Publik kerap beranggapan 'Investasi asing lagi, bisnis asing, rumah sakit jadi ladang bisnis.'Â
Investasi asing di sektor perumahsakitan bukan sesuatu yang baru-baru ini terdengar. Regulasi mengenai investasi asing tertuang melalui Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang.
Kemudian, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 49 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Pada UU Cipta Kerja dan Perpres Nomor 49 Tahun 2021 tidak secara gamblang tertulis aturan investasi asing pada rumah sakit asing.
Kedua regulasi itu memperjelas terkait penanaman modal asing. Pemerintah pusat punya kewenangan menyelenggarakan penerbitan Perizinan Berusaha dalam rangka penanaman modal asing. Dengan kata lain, pembangunan rumah sakit asing dengan penanaman modal asing sah-sah saja.
Pada Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Rumah Sakit di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) barulah tertulis jelas. Bahwa rumah sakit dengan penanaman modal asing berupa rumah sakit cabang dari rumah sakit asing
Diperjelas pula di wilayah KEK dapat didirikan rumah sakit dengan penanaman modal asing. Rumah sakit dengan penanaman modal dalam negeri bahkan diizinkan bekerja sama menyelenggarakan kegiatan usaha dengan rumah sakit asing. Upaya ini demi memenuhi standar pelayanan internasional.
Di sisi lain, muncul kekhawatiran publik yang berpendapat cabang rumah sakit asing turut membawa dokter asing, yang mana tenaga medis di dalam negeri akan kalah saing. Padahal, tidak seperti itu.Â
Walaupun rumah sakit asing membuka cabang di Indonesia, tenaga medis dan tenaga kesehatan Warga Negara Indonesia (WNI) tetap dijaring. Artinya, Pemerintah membuka tenaga medis WNI untuk berpraktik di rumah sakit asing. Ketentuan ini sudah tercantum dalam Permenkes Nomor 1 Tahun 2023.
Pertimbangan mekanisme pasar
Kendati terdapat pandangan beragam dalam merespons perizinan rumah sakit asing, sebenarnya untuk membangunnya tidak sembarangan. Sang empu-nya rumah sakit asing yang ingin menanamkan modalnya ke Indonesia pasti akan mempertimbangkan hal-hal strategis.Â
Contohnya, pemilihan lokasi, target sasaran/segmentasi, penilaian kebutuhan fasilitas maupun layanan kesehatan nantinya bagi masyarakat, sejauh mana pendapatan kelak, penyakit apa saja yang paling banyak dialami masyarakat, dan sebagainya. Sehingga bukan perkara keuntungannya saja, melainkan memikirkan hal-hal layanan kesehatan apa saja yang dibutuhkan masyarakat.
Untuk membangun cabang rumah sakit asing, pertimbangan melihat mekanisme pasar, baik permintaan maupun penawaran menjadi poin penting. Strategi ini akan menentukan bagaimana harga dan alokasi tenaga medis juga tenaga kesehatan yang hendak dipekerjakan.
Tak lupa, masyarakat biasanya akan membandingkan harga layanan kesehatan. Jika harga layanan mahal, masyarakat mungkin mencari alternatif rumah sakit lain yang lebih terjangkau. Permintaan tinggi dan penawaran terbatas bisa menyebabkan harga menjadi mahal.
Out-of-pocket spending kesehatan orang Indonesia
Salah satu alasan kehadiran rumah sakit asing, menurut Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin pada 15 Juli 2025, masyarakat dapat memeroleh layanan kesehatan yang berkualitas tanpa perlu ke luar negeri. Apalagi melihat jutaan orang Indonesia berobat ke luar negeri.Â
Situasi itu sempat disentil oleh Presiden Prabowo pada 25 Juni 2025, banyak WNI mencari pengobatan ke luar negeri yang mengakibatkan pengeluaran devisa sangat besar. Pemerintah mencatat, sebanyak 1 juta WNI berobat ke luar negeri setiap tahun.
Merujuk data Singapore Tourism Board dan Ministry of Health Singapore sekitar 47,2 persen dari pasien asing yang berobat ke negara itu adalah WNI. Diperkirakan, WNI berobat ke luar negeri membuat devisa negara "bocor" hingga mendekati Rp200 triliun tiap tahunnya.
Mereka yang berobat ke luar negeri bisa saja merogoh kantong sendiri alias menggunakan biaya sendiri, istilahnya out-of-pocket spending (OOPS). Artinya, mengeluarkan biaya sendiri untuk mendapatkan layanan kesehatan, tanpa menggunakan asuransi atau jaminan kesehatan dari pemerintah.
Berdasarkan Global Health Expenditure Database WHO, OOPS di Indonesia mencapai 32,96 persen pada 2022. Persentase ini naik turun setiap tahunnya. Pada tahun 2019 berada di angka 34,55 persen dan 42,72 persen pada 2015.Â
Persentase yang terbilang masih cukup besar. Kondisi pengeluaran biaya kesehatan dari kantong pribadi orang Indonesia mungkin dapat jadi pertimbangan peluang untuk membangun rumah sakit asing. Sederhananya, 'Daripada jauh-jauh berobat ke luar negeri, mending uangnya buat pemasukan di dalam negeri sendiri.'Â
Perlahan-lahan, hasilnya dapat mengurangi "kebocoran" devisa negara. Akan tetapi, kita perlu mengingat beberapa alasan orang Indonesia memilih berobat ke luar negeri di antaranya, biaya layanan kesehatan dan transportasi lebih murah serta komunikasi dengan dokter lebih nyaman dibanding dokter di Indonesia.
Jadi, fokus mencari untung atau butuh?
Menilik sederet penjabaran berkaitan rumah sakit asing di atas, jawabannya bisa dua-duanya. Perizinan rumah sakit asing untuk membuka cabangnya di Indonesia dalam kesepakatan CEPA dengan Uni Eropa memang diharapkan harus saling menguntungkan.Â
Kita juga membutuhkan akses pelayanan kesehatan dan alat-alat canggih berkelas internasional. Melalui rumah sakit asing, Indonesia bisa melakukan transfer teknologi dan dokter-dokter WNI dapat belajar dari pengalaman sekaligus keahlian dokter asing.
Selanjutnya, menjawab mendesak (urgent)Â atau tidak soal keberadaan rumah sakit asing. Kalau kita lihat situasi kesehatan di Indonesia, penambahan rumah sakit asing rasanya tidak terlalu urgent. Hal ini melihat Kemenkes sedang gencar membangun rumah sakit di daerah terpencil.
Dalam keterangan pada 15 Januari 2025, Kemenkes menargetkan membangun 32 Rumah Sakit Tipe C secara bertahap, yang diprioritaskan di Daerah Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK). Sasaran DTPK khususnya di wilayah Indonesia timur. Pembangunan rumah sakit ini butuh kesiapan pengadaan alat kesehatan dan SDM kesehatan, yang mencakup ketersediaan dokter spesialis.
Dengan demikian, membuka "keran" cabang rumah sakit asing silakan saja, asalkan perbaikan dan penguatan sistem pelayanan kesehatan dalam negeri serta kehadiran rumah sakit yang dibangun Kemenkes demi peningkatan akses kesehatan di daerah yang sulit dijangkau terus berjalan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI