Dari balik topi merah yang dikenakannya, airmata bercucuran. Kakinya digerak-gerakan layaknya pose lari di tempat. Tubuh bocah yang tadinya tegak, kian membungkuk-bungkuk. Tak tahan lagi untuk segera pipis.
Si ibu masih juga menjawab, "Nanti dulu ah." Mata si bocah memerah. Ia terus menangis.
Percakapan antara ibu dan anak itu mengundang tatapan mata dari penumpang lain. Penasaran, beberapa penumpang melihat ke arah keduanya yang berdiri dekat pintu kereta.
Tatapan mata kasihan dan iba pun terlihat. Mereka mungkin berpikir, "Kasihan anaknya sampai nangis. Kenapa enggak turun dulu di stasiun saja buat pipis."
*
Rasa kasihan juga menyelimutiku. Tak tahan mendengar permintaan si bocah yang ingin pipis, aku bertanya, "Memangnya ibu turun di stasiun mana nanti?"
"Di Stasiun Citayam kok," jawab ibu bocah lelaki.
"Oh, masih jauh Bu. Kasihan anaknya mau pipis. Enggak apa-apa turun dulu. Nanti naik kereta lagi," balasku. Pikiranku melayang, tak mungkin juga harus menahan pipis sampai tiba di Stasiun Citayam.
Perempuan muda yang mengenakan blus hitam di sebelah si ibu ikut berkomentar. "Iya, Bu. Kasihan dia udah kebelet banget. Turun apa salahnya. Enggak ketinggalan kereta. Banyak ini keretanya yang lewat," timpalnya.
Mungkin karena ditegur penumpang lain, dariku dan si Mbak muda tadi. Si ibu berucap, "Oh iya ya."
"Yaudah, turun di sini dulu aja," kata si ibu kepada anaknya. Pintu kereta terbuka, mereka pun turun di Stasiun Depok Baru.