Mohon tunggu...
Fitri Haryanti Harsono
Fitri Haryanti Harsono Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis Kesehatan Liputan6.com 2016-2024

Akrab disapa dengan panggilan Fitri Oshin. Lebih banyak menulis isu kebijakan kesehatan. Bidang peminatan yang diampu meliputi Infectious disease, Health system, One Health, dan Global Health Security.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Teror Kabut Asap, Aktivitas Menyenangkan Pun Terenggut

14 September 2019   16:30 Diperbarui: 15 September 2019   09:33 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kabut asap yang merenggut sejumlah aktivitas menyenangkan. (Ilustrasi pexels.com)

Kabut asap yang menyelimuti bak teror yang tak kunjung henti. Kepungan asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) bukan hanya menimbulkan sejumlah gangguan kesehatan, seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), pneumonia, napas sesak, dan iritasi mata.

Namun, merenggut aktivitas menyenangkan. Kabut asap membuat suasana berubah drastis. Aktivitas yang biasa dilakoni harian maupun libur tiba kini berhenti.

"Aktivitas benar-benar terganggu akibat kabut asap. Saya tadinya suka olahraga pagi di luar rumah, ya sekadar lari atau jalan kaki," tutur Azhar kepadaku kemarin siang.

"Tapi sekarang sudah enggak bisa lagi dilakukan. Ngajak anak jalan-jalan ke taman dekat rumah saja juga enggak lagi. Ya, mau bagaimana lagi. Kondisi seperti ini enggak memungkinkan melakukan aktivitas itu semua."

Sungguh terdengar pilu. Aku terhenyak mendengar curahan hati Azhar. Ia adalah salah satu temanku yang bertempat tinggal di Kota Pekanbaru, Riau. Menyoal kabut asap yang semakin pekat kemarin, aku langsung teringat Azhar.

Untuk keperluan pemberitaan, aku menghubungi Azhar lewat sambungan telepon. Permasalahan kesehatan akibat paparan kabut asap adalah topik utama yang aku angkat. Namun, yang menjadi catatanku dari obrolan kami, yakni  aktivitas yang terenggut.

Bahwa kabut asap dapat mematikan aktivitas yang biasa dilakukan. Dan obrolan kami siang kemarin dipenuhi nada sedih.

Munculkan Rasa Takut
Membaca isu kabut asap kebakaran hutan dan lahan, aku berpikir, selain dari sisi kesehatan, seberapa besar kabut asap mengganggu aktivitas. Tak disangka, aku mendengar jawaban itu dari Azhar.

Ia mengaku takut dengan kabut asap sehingga mengurangi bahkan berhenti melakukan aktivitas lain, kecuali tuntutan profesi yang mengharuskan ia bekerja di luar rumah.

"Ya, takut saja bawaannya melakukan aktivitas lain. (Takut lebih banyak terpapar kabut asap dan sakit)," ujar Azhar.

Sambil tercenung, aku juga merasakan rasa takut tersebut meski sehari-hari bekerja di Jakarta. Polusi udara Jakarta, yang berasal dari asap kendaraan dan emisi bahan bakar seakan menghantuiku setiap harinya. 

Bayangan takut muncul, "Aku takut kena gangguan napas, takut jadi sering sakit, takut batuk dan pilek yang sembuhnya lama, takut gampang tertular bakteri penyakit, takut jajan makanan di pinggiran jalan, takut partikel polusi udara menempel pada makanan yang dijual Abang-abang."

Setiap kali keluar rumah dan bertugas di lapangan pun aku harus memakai masker penutup hidung. Dulu, kadang pakai kadang tidak. Tapi sekarang tanpa masker rasanya tidak nyaman. Setidaknya masker jadi perlindungan dari partikel polusi udara.

Sederet ketakutan yang kurasakan mungkin juga dialami Azhar dan ribuan warga Riau lain. Sekiranya kami juga punya kemiripan: Sama-sama berjuang dan bertahan hidup di tengah udara yang kotor.

Para Pejuang Pemadam Api
Di balik kejadian kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan yang mengepung Riau, kita juga tak boleh lupa. Ada para pejuang pemadam api yang berjibaku meredakan si jago merah. Mereka berjuang untuk masyarakat luas.

Berharap titik api dan api yang melalap puluhan sampai ratusan hektar lahan mereda. Agar asap kebakaran tidak makin meluas. Agar asap kebakaran tidak memperburuk bahkan dihirup terlalu banyak oleh masyarakat.

Tetapi untuk memadamkan api bukan perkara mudah, terlebih lagi musim kemarau. Kekeringan bisa memicu kebakaran lahan. Dan pejuang pemadam api berhari-hari, berminggu-minggu atau berbulan-bulan meredakan api.

Saat memandang foto-foto dan video yang diunggah di media sosial soal perjuangan pemadam api, rasa kagum dan terpana bercampur haru. Sambil membawa semprotan air yang tampak berat dan panjang, mereka menyemprot air ke arah lahan yang terbakar api.

Tanah yang licin terkadang membuat para pejuang pemadam api terpeleset. Butuh pijakan tanah yang kuat. Karena semprotan pemadam api harus dipikul beberapa orang.

Gambaran di atas juga dituturkan salah seorang pejabat pemerintah dari Kabupaten Siak, Riau. Dalam sebuah pertemuan di siang hari sebulan lalu, aku mengobrol dengannya. Ia menyampaikan, suka duka memadamkan api. Memang tidak mudah menjinakkan api.

"Enggak mudah buat petugas memadamkan api. Kalau kebakarannya enggak jauh dari jalan raya, paling selesai 2-3 hari. Nah, seringkali kasus kebakaran yang ditemukan itu lokasinya di tengah hutan," ujarnya dengan raut wajah sedih.

"Medannya sangat berat menuju lokasi lahan terbakar juga sulit. Untuk mencapai lokasi kebakaran saja, petugas harus membuka jalan dulu."

Dambaan Udara Bersih
Udara bersih menjadi dambaan yang dinanti-nantikan. Semua orang juga ingin menghirup udara bersih. Kalimat  "Tolonglah kami, Tolonglah kami" yang marak mencuat dari warganet Riau membuatku turut sedih.

Tentunya, ada secercah harapan bagi Azhar dan warga Riau bisa kembali melakukan aktivitas menyenangkannya. Olahraga dan berjalan-jalan di luar dengan udara yang bersih.

Tanpa asap. Tanpa memakai masker. Tanpa ada rasa takut.

Keinginan itu juga tebersit padaku. Tatkala menyambangi taman kota, hanya sekadar duduk, masker penutup hidung tidak kulepas. Sempat terpikir, "Aku sedang berada di taman lho. Banyak pohon dan rindang tapi tetap pakai masker."

Menjaga tubuh tetap fit, pakai masker keluar rumah, perbanyak makan buah, dan minum madu termasuk cara yang aku terapkan. Teringat ucapan Menteri Kesehatan RI Nila Moeloek dalam suatu acara yang aku hadiri. Bahwa olahraga di dalam rumah juga bisa dilakukan. Mungkin itu bisa dicoba  saat tidak bisa berolahraga di luar ruang.

Melawan kabut asap dan polusi udara pun butuh persiapan tubuh.

Dan yang bisa meredam api adalah hujan. Teringat ucapan sang bapak dari pemerintah Kabupaten Siak. Alam diredam dengan alam.

"Doa minta hujan kami lakukan. Saat hujan mengguyur, kabut asap enggak begitu pekat karena api berhasil diredakan air hujan. Ya, setidaknya hujan membuat kabut asap berkurang," senyum simpul terpancar dari wajahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun