Mohon tunggu...
Fitri Ciptosari
Fitri Ciptosari Mohon Tunggu... Dosen - Eco-populist and Lecturer of Ecotourism

Berkonsentrasi pada isu pembangunan, pariwisata, dan lingkungan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menenun, Mewarisi Kecerdasan Intelektual

19 Maret 2019   21:38 Diperbarui: 20 Maret 2019   17:54 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada tanggal 8 Maret lalu para perempuan di seluruh dunia baru saja saling bersalam selamat untuk merayakan International Women's Day. Perayaan tentang pencapaian perempuan tersebut sepertinya kurang dirasakan oleh perempuan Nusa Tenggara Timur. 

Mungkin pada saat yang sama, perempuan NTT sedang hening setelah terhenyak oleh wacana penerbitan Peraturan Daerah (Perda) tentang Perempuan NTT Menenun. Perda yang ingin menghidupkan kembali budaya leluhur, yang konon katanya perempuan NTT akan diperbolehkan menikah jika dia sudah bisa menenun.

Barangkali muncul kegalauan dibalik hening para perempuan NTT. Di satu sisi, ada tanggung jawab besar dipundaknya untuk mewarisi budaya leluhur, di sisi lain ada hak asasi yang siap terpasung. Seolah-olah, tenun seperti rantai besi yang siap memasung mereka untuk tidak boleh menikah. Seolah-olah, para perempuan milenial menjadi terdakwa atas nyaris punahnya budaya menenun di NTT. 

Sebenarnya bukan salah para milenial jika mereka hidup berjarak dengan budaya menenun. Mereka hanyalah manusia-manusia era globalisasi yang dipaksa untuk mengonsumsi modernisasi.

Nuansa kehidupan perempuan NTT yang menenun memang sudah tidak mudah ditemukan lagi. Aktivitas menenun yang masih bisa disaksikan saat ini telah mengalami peralihan makna. Aktivitas menenun lebih banyak terlihat di sanggar-sanggar dan di pelosok-pelosok desa dimana menenun menjadi salah satu alternatif sumber pendapatan. 

Tenun ikat bukan lagi sebagai identitas dan simbol kebanggaan, melainkan sebagai hasil karya cipta yang bernilai rupiah. Laju zaman telah menjadikan tenun sebagai komoditas, yang diperjual belikan sebagai souvenir hingga menjadi seragam anak-anak sekolah dan pegawai dinas.

Jika ada yang masih menenun dan mengajak anaknya menenun, hal ini karena makin tingginya permintaan pasar. Memang tidak bisa dipungkiri, motivasi ekonomi kini lebih mendominasi dari setiap karya tenun yang diproduksi.

Oleh karena itu, jika benar tenun NTT menjadi bukti akan tingginya kecerdasan intelektual perempuan NTT, maka kecerdasan intelektual inilah yang perlu diwariskan.

Setiap motif memiliki makna, memiliki kata-kata yang perlu dijadikan cerita. Disetiap motif ada filosofi, ada pesan-pesan adat yang perlu diwarisi. Dari pemilihan bahan hingga penemuan warna-warna, tenun NTT adalah kain yang sarat akan makna. Semua detail itu pula yang harus diwariskan kepada perempuan milenial saat ini.

Jika tenun ikat adalah mahakarya intelektual perempuan NTT, maka tenun NTT adalah mahakarya yang lahir dari perempuan yang mampu mengelola potensi diri secara bijak. Tidak ada mahakarya di dunia yang dilahirkan dari sebuah paksaan. Dengan meletakkan kewajiban dipundak perempuan tanpa memberikan mereka pemahaman dan pengetahuan sama halnya seperti menerapkan kerja paksa.

Dunia pendidikan adalah ruang intelektual paling 'pas' untuk menerapkan kewajiban belajar menenun pada perempuan milenial NTT. Salah satunya adalah melalui pendidikan Muatan Lokal (Mulok) dimana budaya lokal menjadi wajib diberikan sebagai mata pelajaran kepada peserta didik di sekolah dasar, dari SD, SMP, hingga SMA.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun