Mohon tunggu...
fitrah amalia
fitrah amalia Mohon Tunggu... Diplomat - student

Mahasiswi

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Penggunaan Tentara Anak, Pelanggaran Terhadap Konvensi Jenewa

1 November 2019   20:01 Diperbarui: 1 November 2019   20:16 2120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
thenigerianvoice.com

Abstract

Konvensi Jenewa adalah konvensi yang mengatur tentang korban dalam konflik bersenjata baik taraf internasional maupun non internasional. Didalam konvensi ini juga mengatur tentang perlindungan yang akan diberikan kepada para korban konflik. Didalam konvensi Jenewa sendiri sebenarnya telah diatur tentang hak-hak dan perlindungan kepada anak-anak.

Tulisan ini bertujuan untuk membahas legalitas pendayaguanaan tentara anak atau yag masih dibawah umur sebagai pasukan dalam konflik besenjata setra hak apa saja yang seharusnya mereka dapatkan.

Adapun metode peneitian yang digunakan  adalah studi literature yang mana mengambil data-data dari literatur -- literature yang ada. Hasil peneitian menunjukan bahwa penggunaan tentara anak merupakan salah satu bentuk pelanggaran tehadap isi dari Konvensi Jenewa, dikarenakan hal ini termasuk dalam eksploitasi anak dan menempatkan mereka sebagai kombatan merupakan pelanggaran terhadap perlindungan yang mana seharusnya mereka dapatkan perlindunan khusus.

Keyword: Tentara Anak; Konvensi Jenewa,; Legalitas                                                              

Pendahuluan 

       Konfik merupakan suatu hal yang menjadi perhatian dunia. Konflik sendiri oleh beberapa pihak dianggap sebagai salah satu cara untuk menangani permasalahan. Namun, maraknya konflik belakangan ini memberikan banyak permasalahan kepada dunia internasional. Hal ini dikarenakan dalam konflik, khususnya konflik bersenjata banyak sekali aspek yang harus diperhatikan. Baik itu dalam hal korban perang, tawanan perang, serta kerusakan ataupun kerugian yang akan didapatkan sebagai akibat dari perang itu.

Walaupun banyak pihak yang telah mengecam atau tidak setuju dengan adanya perang atau konflik bersenjata ini, namun tetap saja ada pihak --pihak yang tetap berkonflik dengan berbagai alasan yang mejadi penyebabnya. Perang sendiri telah ada sejak zaman dahulu dan terus ada sampai zaman modern sekarang. Perang akan terjadi apabila negara-negara dalam situasi konflik dan saling bertentangan merasa bahwa tujuan-tujuan eksklusif (natioal interest) mereka tidak bisa tercapai, kecuali dengan cara-cara kekerasan.[1] Cara perang untuk menyelesaikan sengketa merupakan cara yang telah di akui dan di praktikan sejak lama ketika cara-cara lain telah menemui jalan buntu atau tidak menemui kata sepakat antara kedua belah pihak.

 

Dalam perang sudah menjadi hal yang biasa apabila  ada korban yang datang. Korban yang jatuh dalam perang tidak hanya semata-mata datang dari pihak militer saja (kombatan), tetapi juga dari warga sipil. Jatuhnya korban dari pihak militer dianggap sebagai konsekuensi logis dari peristiwa tersebut, tetapi jatuhnya korban dari masyarakat sipil dianggap sebagai hal yang tidak seharusnya tidak terjadi. Secara normatif masyarakat sipil yang tidak bersenjata dan tidak terlibat dalam konflik seharusnya menjadi pihak yang bebas dan di lindungi keselematannya.[2]

 

Menurut konvensi Jenewa tahu 1949, orang- orang yang harus dilindungi dalam konflik adalah para perempuan, anak-anak, pasukan medis, dan lain sebagainya dimana mereka diberikan imunitas sebabagai korban perang. Knamun, ada beberapa kasus yang terjadi dimana anak-anak atau yang masih dibawah umur bukannya dilindungi tetapi dijadikan sebagai pasukan yang ikut dalam pertempuran, yang mana mereka biasa disebut dengan tentara anak dimana seperti yang jita tahu bahwa anak anak termasuk dalam kelompok yang harus dilindungi dalam perang menurut hukum humaniter internasional.

 

Adanya penggunaan tentara anak ini pun menjadi sorotan dunia internasional. Dimana mereka menganggap bahwa ini adalah suatu entuk pelanggaran yang berat. Selain melanggar hukum humaniter internasional, penggunaan tentara anak ini juga melanggar hukum perlindungan kepada anak --anak. Menurut hukum humaniter internasional, anak-anak tidak boleh dijadikan sasaran dalam konflik. Dengan demikian, anak-anak tidak dapat direkrut menjadi tentara, anak-anak tidak boleh menjadi objek kekerasan dari pihak yang bersengketa. Dalam Protokol Tambahan I anak-anak memang tidak ditetapkan mempunyai hak untuk diperlakukan sebagai tawanan perang, melainkan mereka disebutkan harus memperoleh keuntungan perlindungan khusus yang ditetapkan dalam Hukum Jenewa, terlepas apakah berstatus tawanan perang atau tidak.[3]

 

Tujuan dari Hukum Humaniter Internasional adalah untuk memberikan perlindungan kepada mereka yang menderita atau yang menjadi korban dari perang, baik mereka yang secara nyata dan aktif dalam pertikaian (kombatan), maupun mereka yang tidak turut serta dalam pertikaian (penduduk sipil).[4] Konvensi Jenewa sendiri sebagai acuan dalam penanganan korban perang terutama anak-anak yang merupakan warga sipil. 

 

Perekrutan tentara anak menjadi perhatian masyarakat internasional karena merupakan salah satu bentuk perbudakan modern. Anak-anak yang menjadi kombatan tidak akan mendapatkan pendidikan yang layak, bahkan sebagian anak tidak dapat membaca karena direkrut pada usia yang masih sangat muda. Anak-anak ini juga tidak digaji dan akses kesehatan yang dimiliki pun sangat buruk. Makanan yang tersedia di kamp-kamp militer biasanya sangat minim, padahal anak-anak memerlukan nutrisi yang banyak untuk pertumbuhan. Kekerasan yang kerap dialami dalam militer dan kerinduan akan sosok keluarga membuat anak-anak yang masih labil depresi dan banyak yang bunuuh diri.

 

PBB sebagai organisasi internasional terbesar di dunia melakukan tindakan untuk menangani masalah ini. Dalam hal ini PBB diwakili oleh UNICEF (United Nations Children's Fund) dalam melakukan tindakan-tindakan yang dapat mengupayakan penghapusan perekrutan tentara anak. UNICEF secara berkelanjutan membuat programprogram yang dikhususkan untuk membantu anak-anak keluar dari militer dan membantu mereka kembali ke masyarakat.[5]

 

 

Pembahasan

 

Pengaturan Terhadap Penduduk Sipil Menurut Konvnsi Jenewa

Perang merupakan situasi yang sangat dihindari oleh Negara-negara di dunia, dikarenakan perang akan membawa banyak dampak buruk bagi Negara-negara. Namun, walaupun telah mengetahui dampak buruk dari perang, namun masih anyak Negara yang menggunakan jalur perang sebagai jalan untuk mewujudkan tujuan mereka. Keinginan untuk menang turut mempengaruhi tindakan para Negara yang terlibat. 

Keberadaan perang telah merubah kebanyakan sikap orang atau lebih tepat sikap dari pihak yang bertikai untuk tidak mengindahkan aturan yang telah diatur secara internasional bagi hak-hak setiap orang terutama pihak penduduk sipil. Warga sipil yang tidak bersalah banyak yang menjadi korban dalam perang. Bahkan menurut banyak data, kebanyakan yang menjadi korban perang adalah warga sipi dibandingkan para kombatan.

Warga sipil sendiri sebenarnya telah dilindungi dalam hukum internasional. Konvensi Jenewa 1949 memberikan perhatian terhadap pihak mana yang dapat dijadikan sebagai objek dalam peperangan atau pertikaian bersenjata. Pengaturan penduduk sipil dalam situasi perang telah diatur dalam Konvensi Jenewa IV mengenai Perlindungan Penduduk Sipil di Waktu Perang. Konvensi ini berlaku untuk semua peristiwa perang yang diumumkan atau setiap sengketa bersenjata lainnya yang mungkin timbul antara dua atau lebih pihakpihak peserta agung, walaupun keadaan perang itu tidak diakui oleh salah satu pihak antara mereka.

 Diantara warga sipil yang di prioritaskan dalam hukum humaniter internasiona adalah perempuan, anak-anak, dan orang tuan. Maka dalam hukum humaniter inernasiona sendiri telah jelas diatur bahwa anak-anak adalah kelompok yang diberikan perlindungan istimewa. 

Aturan Hukum Tentang Tentara Anak Menurut Hukum Humaniter 

Anak menurut United Nations International Children's Emergency Fund (UNICEF) berarti setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku untuk anak, kedewasaan yang di capai lebih cepat. Pasal 1 Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) 1989 menyatakan bahwa:"Untuk digunakan dalam Konvensi yang sekarang ini, anak berarti setiap manusia yang berusia di bawah delapan belas tahun".Pengertian Hak Anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara. Hak anak tersebut mencakup non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak kelangsungan hidup, perkembangan dan penghargaan terhadap pendapat anak.[6]

 

            Saat ini penggunaan tentara anak sedang marak diterapkan di Negara-negara yang berkonflik. Penggunaan tentara anak terdapat hamper diseluruh benua Afrika,di Amerika Tengah dan Selatan, di bagian-bagian Eropa, dan sepanjang Asia. Myanmar, Angola, Afganistan, Honduras, Siera Leone, Guatemala, Chechyna, Kolumbia, Srilanka, Uganda, Mozambique, Liberia, Republik Kongo, Buthan, Sudan, dan Irak adalah sebagian tempat yang masih menggunakan tentara anak atau tempat yang terdapat bekas sejumlah tentara anak yang menderita secara fisik, psikologis, dan trauma emosional dari siksaan-siksaan.[7] Dimana perekrutan mereka sebagaian besar dengan menggunakan paksaan ataupun penculikan.

 

Dalam laporan UNICEF, sekitar 300.000 anak di setidaknya 60 negara di dunia terlibat di dalam konflik bersenjata, baik di tentara pemerintah maupun di kelompok-kelompok bersenjata non-pemerintah lainnya. Pemerintah yang melibatkan anak di dalam militer mengatakan bahwa keterlibatan anak-anak sebagai bentuk sukarela dan tanpa paksaan.[8]

 

Secara teoritik, tentara anak dapat dibedakan dalam konteks statusnya sebagai Kombatan, sebagai Penduduk Sipil, dan sebagai tawanan perang. Berikut akan diuraikan pengaturna yang berkaitan dengan ketiga status tersebut.  Dalam menentukan status anak sebagai kombatan, dapat dirujuk beberapa instrument internasional, misalnya dalam Pasal 1 dan 2 Hague Regulations, Pasal 13 ayat (1) Konvensi Jenewa 1 1977, serta Pasal 43 ayat (1), 43 ayat (2), 44 ayat (3) Protokol Tamabahan I 1977. Dalam ketentuan yang telah dijabarkan maka anak akan digolongkan sebagai kombatan apabila memenuhi unsur-unsur memiliki komandan, memiliki lambing pembeda khusus, membawa senjata secara terbuka dan melakukan operasi militer sesuai dengan peraturan dan kebiasaan internasional.[9]

 

Apabila saat menjadi kombatan para tentara anak ini menjadi tawanan perang, maka hak-hak yang mereka dapatkan adalah hak-hak yang dimiliki oleh kombatan juga. Perlindungan-perlindungan yang diberikan kepada mereka anatara lain adalah dilindungi dari ketidakadilan dalam bahaya yang mungkin timbul dari suatu konflik bersenjata, dilakukan secara manusiawi dan dilakukan tanpa adanya pembedaan berdasarkan ras jenis kelamin, kebangsaan, agama, opini politik, atau kriteria lainnya dan dilarang untuk melakukan usaha-usaha yang berkaitan dengan nyawa mereka atau melakukan kekerasan kepada mereka yang sakit, luka dan mengalami kecelakaan. Jadi, apabila tentara aak tertangkap oleh pihak musuh, maka ia harus dilakukan sebagai tawanan perang.

 

Dikarenakan pada Konvensi Jenewa 1949 belum mengatur tentang  pengaturan yang lebih spesifik untuk para tentara anak, maka ketentuan tentang tentara anak diatur lebih detail di  Protoko Tambahan I dan II. Perlindungan berdasarkan Protokol tambahan I 1977 membuat perlindungan yang lebih spesifik dibandingkan dengan Konvensikonvensi Jenewa 1949, yaitu adalah pasal yang mengatur mengenai tentara anak. Pasal 77 Protokol ini merupakan pasal yang mengatur mengenai tentara anak dan pada pasal tersebut anak-anak yang direkrut menjadi tentara anak mendapatkan perlindungan khusus yang di maksud dalam pasal tersebut adalah :

 

a. Anak-anak harus dilindungi dari perbuatan-perbuata yang tidak senonoh dan pihak yang bertikai harus menyediakan abantuan dan perawatan yang mereka butuhkan. Perlindungan khusus yang diberikan kepada anak-anak ini diterapka baik mereka dalam status tahanan maupun tidak.

b. Apabila anak-anak ditangkap ditahan/ditwan, ataupun diasingkan karena hal-hal yang berkaitan dengan konflik bersenjata, mereka harus ditempatkan ditempat yang terpisah dengan orang dewasa, kecuali orang-orang dewasa tersebut adalah keluargannya.

c. Anak-anak tidak boleh dihukum mati. [10]

 

Dalam pasal 77 ayat (2) konfensi tambahan ini meyatakan bahwa kewajiban yang lahir bagi negara dalam merekrut anak-anak dalam konfik, bersenjata adalah kewajiban yang bersifat fleksibel, tidak membedakan kewajiban hukum penuh agi Negara untuk mengabil tindakan hukum penuh agi Negara untuk mencegah terjadinya perekrutan dan partisipasi agi Negara dalam konfik bersenjata. Kewajiban bagi Negara hanyalah untuk menahan diri untuk tidak merekrut anak yang usianya dibawah 15tahun  dalam angkatan bersenjatanya. Ketentuan-ketentuan ini hanya membatasi kebebasan bagi Negara ntuk tidak mengikut sertakan anak-anak dalam konfik bersenjata, sedangkan pengakuan bahwa seorang anakyang terlibat dalam konfik bersenjata sebagai anggota angkatan perang tidak menghilangkan status anak tersebut sebagai pihak kombatan.

 

Ketentuan tentang perekrutan anak dalam konflik bersenjata tidaklah melahirkan kewajiah hukum yang signifikan bagi Negara. Ketentuan tersebut erbeda dengan kehendak dari ICRC yang membebankan kewajiban bagi Negara-negara untuk mengambil langkah-langkah yang penting  untuk mencegah terjadinya rekruimen dan paetisipasi anak daam konflik bersenjata. Ketentuan itu hanya mewakili kepentigan Negara-negara yang masih menghendaki adanya partisipasi secara sukarela anak dalam konflik bersenjata. Impikasinya adalah bahwa Negara yang merekrut anak dibawah 15 tahun dianggap tidak melanggar protocol tamahan tersebut.[11]

 

  • Sedangkan menurut Protokol Tambahan II dalam hal pengaturan tentang perindungan anak dari perekrutan sebagai tentara anak dalam konflik bersenjarta ketentuan tersebut diatur daam pasal 4 ayat (3) bagian (c) yang menyatakan bahwa anak yang dibawah 15 tahun tidak diperbolehkan untuk direkrut menjadi anggota angkatan bersenjata dan tidak diperbolehkan untuk ikut serta dalam pertikaian bersenjata. 
  • Namun, ketentuan-ketentuan yang telah terdapat dalam Protoko Tambhan Konvensi Jenewa I dan II tetap mengaami kesuitan dalam penerapan untuk mengatur atau mengontrol Negara atau kelompok tertentu dalam perekrutan tentara anak yang berumur dibawah 18 tahun untuk terlibat konflik. [12]

 

Hal ini seperti yang terdapat dalam protocol pilihan dalam konvensi hak anak yang berkaitan tentang keterlibatan anak dalam konfik bersenjata yang menyatakan bahwa Negara dilarang mengikutsertakan anak dibawah 18 tahun sebagai batas umir minimal dalam keteribatan anak dalam konflik ersenjata di negaranya. Namun, menurut penasehat ICRC, adanya protocol-protokol ini masih memiliki kekranga. Salah satu kekerangannya adalah ahewa protocol ini hanya mengatur tentang anak yang teribat langsung  dalam konflik (sebagai kombatan). Dimana pada hakikatnya keterlibatan anak didalam konflik bersenjata tidak hanya berbentuk keterlibatan langsung tetapi juga tidak langsung seperti anak berperan sebagai orang yang mencari informasi, menyampaikan perintah, membawa amunisi dan keutuhan prajurit, atau tndakan sabotase.

 

Walaupun hukum yang telah mengatur tentang penggunaan tentara anak ini, namun tetap saja penggunaan tentara anak seenarnya tidaklah isa dibenarkan. Ha ini dikarenakan anak-anak merupakan kunci masa depan suatu angsa. Apabila anak-anak dibiarkan ikut serta dalam konflik ersenjata yang mana itu membahayakan mereka, maka kita akan meihat anak-anak itu meninggal dengan sia-sia di medan perang atu mengalami cacat fisik ataupun mental akibat konflik.

 Kesimpulan 

 

Penggunaan tentara anak saat ini memang banyak terjadi di Negara-negara konflik. Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol tamahannya 1977 yang mengatur tentang korban dalam konflik bersenjata baik yang bersifat internasional ataupun local,telah mengatur secara tentang penggunaan tentara anak serta ketentuan-ketentuan apa saja yang harus di patuhi oleh Negara yang akan merekrut tentara anak. Namun, walaupun penggunaan tentara anak telah diatur dalam konfensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977, namun masih banyak kekurangan dan juga pelanggaran yang bisa kita temukan. Diantanya adalah protocol ini hanya mengatur tentang keteribatan anak secara langsung didalam konflik ( ikut benjadi pasukan bersenjata), padahal didaam konflik anak-anak tidaklah hanya menjadi pasukan ersenjata namun isa juga meeka dipekerjakan sebagai kuli atau pengantar pesan.

 

 Daftar Pustaka

 

Ambarwati, et all. 2012. Hukum Humaniter Internasional,Jakarta: Rajawali Pers, 2012

 

 Dutli, Margaret. Captured Child Combatant, International Review Of Red Cross. September-October 1990

 

 Evans, Graham dan Jeffrey Newnham.The Penguin Dictionary of International Relations, London: Penguin Books. 1998

 

Haryomataram.Pengantar Hukum Humaniter,  Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005

 

Karmila,Karenda Eka. Peran United Nations International Children's Emergency Fund (Unicef) Dalam Menangani Tentara Anak Di Ukraina. eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2018

 

Morini,Claudia. First Victims then Perpetrators : Child Shouldiers and Internasional Law. Eropa, 20 Oktober 2009

 

Purwanto,Putri Lestari. Kajian Yuridis Tentara Anak Dalam Perang Menurut Hukum Humaniter. Lex Et Societatis, Vol. Ii/. 2014

 

Sirait,Dorma Elvrianty.Peran Unicef Dalam Menangani Perekrutan Tentara Anak (Child Soldiering) Di Myanmar (Tahun 2007-2013). Jom FISIP Volume 2 No. 1 -- Oktober 2014

 

Supradyana,I Gede Adhi. Status Tentara Anak Dalam Konflik Bersenjata

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun