Mohon tunggu...
fisni aja
fisni aja Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya suka membaca dan foto foto pemandanhan alam hijau

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Apresiasi Nilai Kemanusiaan "Tumira Sang Mucikari"

10 Juli 2025   20:27 Diperbarui: 10 Juli 2025   20:27 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth


 "Tumirah Sang Mucikari" karya Seno Gumira Ajidarma adalah sebuah karya teater yang menampar kesadaran kita tentang kemanusiaan. Dipentaskan dengan penuh energi di Gedung Teater Universitas Halu Oleo, lakon ini tidak sekadar menghadirkan kisah getir para pelacur di tengah pusaran konflik sosial dan politik, tetapi juga mengajak penonton untuk merenung: di mana letak harga diri dan cinta di tengah penderitaan yang nyaris tak berujung?

Panggung Kehidupan yang Jujur dan Penuh Luka

Sejak babak awal, penonton langsung diseret ke dalam realitas dunia para pelacur dan mucikari, tanpa tabir dan tanpa basa-basi. Seno Gumira Ajidarma menampilkan kehidupan di rumah bordil dengan dialog yang lugas, penuh humor, namun sarat kritik sosial. Tak ada upaya memoles luka; justru kejujuran dan kepedihan inilah yang membangun empati penonton. Tumirah dan para pelacur digambarkan bukan sekadar objek stigma, melainkan manusia dengan harapan, cinta, dan impian yang kadang terasa mustahil.

Ketegangan dan Luka yang Menganga

Konflik mulai menanjak saat perang dan kekerasan mulai menggerogoti ruang privat para pelacur. Kedatangan ninja sebagai simbol kekuasaan gelap mengubah segalanya. Seno dengan cerdas menyoroti betapa kekerasan sistemik bisa menimpa siapa saja, terutama mereka yang sudah termarjinalkan. Dialog dan monolog Tumirah tentang cinta dan harga diri memperdalam konflik batin, memperlihatkan bahwa di balik label "pelacur", mereka tetap manusia utuh yang layak dihormati.

Kekejaman yang Menghancurkan

Klimaks drama ini benar-benar menghantam perasaan. Serangan brutal para ninja, pemerkosaan, dan pembunuhan para pelacur dipentaskan bukan sekadar untuk mengejutkan, melainkan sebagai kritik tajam terhadap kekuasaan yang menindas dan merenggut kemanusiaan. Orasi Ninja 1 di podium menjadi sindiran pedas terhadap rezim yang menindas rakyat kecil atas nama ketertiban. Adegan ini membuat penonton terdiam, bertanya dalam hati: apakah kemanusiaan benar-benar masih ada?

Dilema Moral dan Kritik Sosial

Usai tragedi, drama bergerak ke fase refleksi. Pengadilan rakyat terhadap ninja yang tertangkap menjadi simbol perlawanan, namun juga membuka dilema moral: apakah balas dendam adalah jawaban? Tumirah dan para pelacur dihadapkan pada pilihan sulit, antara membalas kekejaman atau tetap berpegang pada nilai-nilai kemanusiaan. Bagian ini sangat kuat, mengajak penonton untuk tidak terjebak dalam lingkaran kebencian, melainkan mencari makna yang lebih dalam dari penderitaan.

Kemanusiaan di Tengah Luka

Akhir drama ditandai dengan pilihan Tumirah untuk tetap memegang teguh nilai kemanusiaan, meski penuh luka dan kehilangan. Pengungkapan identitas ninja yang dirawat sebagai Sukab, kekasih Tumirah, menambah lapisan ironi dan tragedi. Penutup yang reflektif ini meninggalkan pertanyaan mendalam: apakah cinta dan kemanusiaan masih mungkin tumbuh di tanah yang penuh darah dan air mata?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun