Mohon tunggu...
Lia Agustina
Lia Agustina Mohon Tunggu... pegawai negeri -

bukan manusia sempurna....

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sang Diva dan Kutukan Sepatu Kaca…

3 Agustus 2010   12:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:20 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Pranggg!!!

Cermin itu retak. Menyisakan serpihan kaca berserakan di lantai kamar. Barusan seorang laki-laki berhasil mengelak dari lemparan high heels sang istri dan cermin tak bersalah itulah yang terkena sasarannya. Namun selanjutnya ia hanya mampu berdiri mematung. Menghadapi tangis seorang perempuan cantik yang sudah dinikahinya selama enam tahun.

“Pergi!! Ceraikan Aku!!!”

Hening sejenak. Kembali hanya suara isakan yang terdengar. Laki-laki itu pun melengos pasrah.

“Baik, Ayu…. Bila memang itu maumu, pengacaraku yang akan mengurus semuanya…” jawab laki-laki itu datar, sebelum sosoknya menghilang di balik pintu.

Tinggal perempuan itu sesunggukan sendirian. Tubuhnya bagai tanpa darah. Hatinya remuk redam, persis seperti serpihan-serpihan cermin tersebut. Bagai tak ada lagi mentari esok pagi dan hidup berhias pelangi. Yang tertinggal hanya badai hati dan segumpal kenyataan sepahit empedu.

Ilustrasi : www.shutterstock.com

Sejenak kemudian perempuan itu menatap high heels di kaki kirinya yang belum terlepas. Sedangkan yang sebelah lagi sudah tergeletak tak berdaya di dekat cermin. Senjatanya tadi untuk melepaskan emosi pada sang suami. Lalu, secara perlahan ia lepaskan sepatu itu dan dipandanginya dengan mata sendu.

Sebuah high heels hitam beludru bermotif vintage nan elegan. Ayu menyebutnya sebagai Sepatu Kaca, sepatu yang mengantarkannya menjadi seseorang yang meraih impiannya memiliki hidup bak putri raja.

Pikirannya kembali melayang pada masa enam tahun lalu. Di saat ia masih terseok-seok mengais rezeki dengan menjual suara, hingga ia menemukan sebuah sepatu cantik yang masih ia pakai saat ini. Ibunya yang memberikan. Bukan dibeli tapi didapat dari rumah majikannya.

“Mas Elmo, manajer almarhumah Mbak Devita mau buang sepatu ini, Yu. Ibu bilang, ‘jangan…! sayang, sepatunya bagus banget’…” ucap ibu sambil menyerahkan sepatu itu padanya.

Ayu ragu-ragu menerimanya. “Tapi.... bukankah sepatu ini yang sempat dipake Mbak Devita sebelum overdosis, Bu? Aku takut, Bu… Meninggalnya kan gak wajar gitu… aku takut ketiban sial make sepatu ini…”

“Walah… kamu ini Yuuuu… dapat rezeki kok mikirnya aneh-aneh? Ibumu ini cuma pembantu… Uang dari mana kita bisa beli sepatu semewah ini kalo bukan modal sedekah? Sepatu ini yang bawa Mbak Devita jadi artis terkenal. Kayak cerita dongeng Cinderella. Karena sepatu kacanya, si upik abu dipersunting pangeran kerajaan… Mana tau kelak kamu jadi artis terkenal yang dipersunting orang kaya…”

Kata-kata ibu masih bernyanyi di telinganya. Ternyata setelahnya, impian ibu bermenantukan orang kaya, terwujud jua. Seorang produser rekaman kaya raya melihat potensi dirinya. Lalu mengorbitkannya menjadi seorang artis dan menikahinya.

Berkat tangan dingin sang produser, seorang Ayu, penyanyi organ tunggal kampung mampu disulap menjadi Queena, Sang Diva dengan berjuta penggemar di seluruh pelosok negeri hingga ke negara tetangga. Harta berlimpah, suami yang tampan dan seorang putri mungil nan cantik pun telah dimilikinya dalam beberapa tahun terakhir. Tapi semua mimpi kahyangan itu dimusnahkan dalam satu malam. Malam di mana ia mendapati sang suami tergeletak mesra di samping seorang penyanyi pendatang baru yang diproduserinya.

Semua pupus. Kesuksesan yang diraih terasa tak berarti dengan pengkhianatan sang suami yang sangat ia cintai. Ia tak tahu ini salah siapa? Yang ia tahu, jemari lentiknya segera saja memencet tombol speed dial di ponselnya. Hingga beberapa menit kemudian, muncul seorang lelaki kemayu yang mendekatinya dengan takut-takut. Mungkin tak menyangka mendapati sang diva terduduk lemas di atas karpet, di dalam kamarnya yang lebih mirip kapal pecah. Tanpa polesan, tanpa senyum menawan. Aura kebintangan yang biasanya terpancar, kini termakan oleh wajah beku nan kusut masai.

“Mbak Queen….. apa yang harus eike bantu?” Laki-laki kemayu itu bertanya ragu.

“Revi… tolong buang sepatu itu…!” tuding Ayu dengan mata nanar.

“Ta… tapi, Mbak…. Sepatu itu kan… kesayangan Mbak Queen… ”

“Kamu asistenku! Ikuti saja perintahku..!!!”

Revi tersentak. Belum pernah ia mendapati bentakan selama mendampingi Ayu bertahun-tahun, selain hari ini. Maka, tanpa banyak bertanya lagi Revi bergegas memunguti sepasang high heels itu sambil berjingkat-jingkat menghindari serpihan kaca yang berserakan.

Sebelum Revi melangkah keluar kamar, Ayu kembali berseru, “Tolong buang sepatu itu, Rev! Buang sejauh-jauhnya…!!! Agar tak ada lagi yang memakainya. Aku tak mau kutukan sepatu kaca itu terulang lagi pada gadis-gadis lain….”

Revi hanya mengangguk. Kemudian ia pamit. Keluar dari rumah mewah Sang Diva sambil menenteng sepasang sepatu cantik itu.

Di mobil, Revi masih termangu. Sambil menyetir, ia terus berpikir hendak membuang sepatu itu ke mana. Ke sungai? Ke laut? Atau ke TPA saja? Sesekali diliriknya kembali sepatu ‘tak berdosa’ itu. Ia tak mengerti jalan pikiran majikannya. Baginya, sepatu adalah sepatu. Tak ada tuah atau kutukan apapun dalam sebuah benda. Karena sebenarnya hanya takdir Tuhan yang menentukan jalan hidup manusia.

Akhirnya Revi memutuskan untuk membelokkan mobil itu menuju ke sebuah rumah mungil di pinggiran kota. Ke rumah kakak perempuannya. Ada seorang keponakannya di sana. Dengan sebuah bakat terpendam, bagai permata belum terasah. Yang ia yakini kelak akan mampu bersinar cemerlang layaknya Queena, sang diva ternama….

***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun