Mohon tunggu...
Firmauli Sihaloho
Firmauli Sihaloho Mohon Tunggu... Jurnalis - Bataknese who Grown in West Sumatera & Working in Riau Province

Menghidupi Hidup Sepenuhnya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bonus Demografi dan Sekolah Vokasi: Asa Indonesia Menjadi "Raksasa" Asia

13 Desember 2019   16:06 Diperbarui: 13 Desember 2019   16:04 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi Keramaian (Pexels.com)

Salah satu kajian tentang kesuksesan Korea Selatan memanfaatkan Bonus Demografi  ditulis oleh Vice President of International Programs at the Population Reference Bureau, James N. Gribble. Ada tiga strategi yang dilakukan Korea Selatan menurut James, salah satunya ialah mengubah strategi pendidikan.

Disebutkan pada tahun 1950 hingga 1960 pemerintah Korea Selatan mengubah strategi pendidikan yang menitikberatkan pada hasil dan produksi. Melalui sistem tersebut, akan menciptakan tenaga kerja yang berorientasi kepada pengetahuan dan keterampilan yang mereka butuhkan.

Source: Jaringan Pemberitaan Pemerintah jpp.go.id 
Source: Jaringan Pemberitaan Pemerintah jpp.go.id 

Sistem begini sebenarnya sudah mulai dilakukan pemerintah Indonesia, salah satunya dengan menggencarkan program pendidikan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan jargon SMK Bisa! Melalui pendidikan sekolah vokasi seperti ini diharapkan mampu menciptakan lulusan yang kreatif dan siap kerja.

Akan tetapi, dari berbagai pemberitaan, hasilnya kurang memuaskan. Faktanya lulusan SMK masih mendominasi angka pengangguran di Indonesia. Pada Mei 2019 silam, BPS merilis tingkat penggangguran terbesar berdasarkan pendidikan masih disumbang lulusan SMK sebesar 8,63%. Diikuti lulusan diploma I/II/III sebesar 6,89%, lulusan SMA sebesar 6,78%, lulusan Universitas sebesar 6,24%. Kemudian lulusan SMP sebesar 5,04% dan lulusan SD 2,65%.

Banyak hal yang menjadikan lulusan SMK tidak mampu bersaing di dunia kerja. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyebut kebutuhan tenaga kerja banyak, akan tetapi tenaga kerja yang tersedia tersebut tidak memiliki keahlian yang dibutuhkan dunia usaha.

Kemudian, pembangunan sekolah gencar di berbagai wilayah tapi tidak diikuti tata kelola yang baik termasuk laboratorium yang tidak up to date.

Seperti bengkel untuk siswa jurusan otomotif. "Servis bengkel motor masih utak atik kaburator, padahal motor-motor zaman sekarang sudah enggak pakai," kata Ubaid Matraji, Koordinator Nasional JPPI melansir CNNIndonesia.com.

Miris memang jika lulusan SMK yang digadang-gadang menjadi tenaga siap kerja malah menjadi penyumbang terbesar angka pengganguran. Oleh karena itu, pemerintah sudah sepatutnya melakukan evaluasi menyeluruh terhadap satuan pendidikan ini. Seperti ketersediaan lapangan kerja, sistim pendidikan hingga kualitas tenaga pengajar.

Tidak hanya itu, kita juga mengharapkan bantuan dari segala pihak untuk turut serta memperbaiki kualitas lulusan SMK ini. Sebab, di era Revolusi Industri 4.0 ini yang patut disadari ialah berbagai perubahan begitu cepat terjadi.

Indonesia harus mampu memanfaatkan Bonus Demografi dengan memaksimalkan lulusan pendidikan vokasi. Tidak ada kata terlambat untuk memulai memperbaiki demi kemajuan bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun