Mohon tunggu...
Muhamad Firmansyah
Muhamad Firmansyah Mohon Tunggu... Aktivis Sosial -

Aktivis Sosial - Human Resource Manager Indonesia Food Bank Foundation. Visit us: http://www.indonesiafoodbank.com/

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Klinik Jamu: Transformasi Industri Farmasi Halal Indonesia

16 November 2017   06:10 Diperbarui: 16 November 2017   09:03 2078
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi jamu modern (Sumber : Sajen Jamu)



Keberagamaan umat Islam di berbagai negeri, termasuk di Indonesia, pada dasawarsa terakhir ini semakin tumbuh subur dan meningkat. Sebagai konsekuensi logis, setiap timbul persoalan, penemuan, maupun aktifitas dan hasil eksperimen baru sebagai produk dari kemajuan tersebut, umat senantiasa bertanya-tanya, bagaimanakah kedudukan hal tersebut dalam pandangan ajaran dan hukum Islam. 

Produk-produk olahan, khususnya bidang farmasi telah membanjiri pasar Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Produk-produk tersebut banyak mendapat perhatian dari umat Islam, apalagi jika berasal dari negeri yang penduduknya mayoritas non muslim, sekalipun bahan bakunya berupa barang suci dan halal. Sebab tak menutup kemungkinan dalam proses pembuatannya tercampur atau menggunakan bahan-bahan yang haram. 

Dengan demikian, produk-produk olahan tersebut bagi umat Islam bukan persoalan sepele tetapi persoalan besar dan serius. Oleh karena itu, umat Islam sangat berkepentingan untuk mendapat ketegasan tentang status hukum produk-produk tersebut, sehingga apa yang dikonsumsi tidak menimbulkan keresahan dan keraguan.

Industri farmasi tidak luput dari perhatian umat islam. Salah satu industri farmasi yang berkembang di Indonesia adalah industri jamu.  Sebagai salah satu produk khas Indonesia, jamu memang memiliki pangsa pasar tersendiri. Hal ini terbukti dengan kemampuan  salah satu produsen jamu, PT Sido Muncul yang menembus pasar internasional.  Namun, tembusnya pasar internasional tak membuat jamu dengan mudah menyetarai ke-eksis-an obat-obatan kimia.

Jamu masih dipandang sebelah mata baik oleh negara lain maupun masyarakat Indonesia sendiri. Kekurangan lain dari industri jamu di Indonesia yaitu sistem pemasaran yang masih tradisional dan  kurang relevan dengan kondisi pada saat ini, serta kurangnya dukungan dari pemerintah  dalam hal regulasi sehingga industri jamu memiliki tantangan besar dalam pasar global meskipun sudah mengantongi sertifikasi keamanan dan kehalalan produk. Padahal Industri jamu di Indonesia memiliki keunggulan komparatif yang tidak dimiliki negara produsen lain. Selain ketersediaan bahan baku dan SDM yang memadai, harga produk jamu dan obat tradisional Indonesia juga kompetitif dan jumlahnya mampu memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat serta terbukti menyehatkan dan tak memiliki efek samping. (Suhaji: 2011). Industri jamu memiliki peluang besar untuk menguasai pasar internasional atau dengan kata lain poros industri farmasi dunia. Tentunya dibutuhkan langkah strategis untuk mewujudkan hal tersebut.

Era sekarang adalah era dimana teknologi berkembang sangat pesat. Setiap saat ilmu pengetahuan terus berkembang yang kemudian dikonversi menjadi produk melalui sentuhan teknologi. Pada awal sejarahnya, obat-obatan memang dikembangkan dari bahan-bahan biologi, seperti dari hewan dan tumbuhan. Jamu, ginseng, dan ramuan khas dari China digunakan oleh tabib-tabib zaman dahulu untuk mengobati orang sakit. Bahkan, bisa ular pun dijadikan obat. Zaman sekarangpun obat-obat jenis ini masih dengan mudah dapat kita jumpai.

Seiring dengan kemajuan zaman dan berbagai macam tuntutan, jenis pengobatan pun perlahan mengalami evolusi. Dalam pengembangan obat, secara umum ada dua jenis hewan yang sering dijadikan bahan dasar, yaitu babi dan sapi. Kedua jenis hewan ini memiliki perbedaan yang paling sedikit dari sisi fisiologinya jika dibandingkan dengan manusia. Insulin babi, misalnya, hanya berbeda 1 asam amino saja dibandingkan dengan insulin manusia. Insulin sapi berbeda 3 asam amino dibandingkan insulin manusia. Setelah hasil penelitian ini dipublikasikan, maka meledaklah bahan-bahan obat yang berasal dari kedua hewan ini. Sebutlah insulin, heparin, pankreatin, dan lain-lain. Secara umum, obat-obatan yang berbahan dasar protein, selalu dikembangkan dari kedua jenis hewan ini. Keberhasilan ini ternyata dibarengi dengan keterbatasan di sisi lainnya. Salah satu keterbatasan itu menyangkut religious beliefs dan lifestyle.

Menyadari keterbatasan yang ada, pihak industri farmasi dan para peneliti di seluruh dunia terus melakukan pencarian bahan obat baru. Melalui ilmu-ilmu terkait, kimia medisinal, teknologi farmasi, dan lain-lain, obat sintetik pun dibuat. Secara sederhana kita bisa mendefinisikan obat sintetik sebagai obat yang dibuat melalui serangkaian reaksi atau rekayasa kimia di laboratorium. Mereka yang berkutat pada ilmu kimia medisinal akan sangat paham tentang cara mengotak-atik struktur kimia untuk mencari potensi obat baru. Obat sintetik inilah yang kemudian "meniru" struktur maupun efek bahan obat yang berasal dari hewan maupun tumbuhan,  

 Pada kodratnya manusia yang ada di bumi Indonesia pun membutuhkan produk yang halal, semua yang diciptakan oleh Allah SWT pasti bermanfaat. Begitupun dengan adanya sebuah penyakit Allah tidak menurunkan obat pada sesuatu yang haram Inilah prinsip penting yang perlu kita pahami. Prinsip ini berdasarkan keterangan Ibnu Mas'ud, "Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan obat untuk penyakit kalian dalam benda yang diharamkan untuk kalian." (HR. Bukhari secara Muallaq, 7/110). Berdasarkan hadits tersebut, sebagai seorang muslim sudah tentu hanya memilih produk halal saja sebagai obat. Memang tidak semua yang Allah haramkan isinya 100% membahayakan tetapi Allah pasti mengharamkan benda itu disebabkan adanya madharatyang lebih besar dibandingkan manfaatnya.

Namun penelitian yang dilakukan oleh Mashudi (2011) menunjukkan rendahnya Respon masyarakat terhadap sertifikasi produk halal termasuk obat. Hal ini akibat berbagai faktor, yaitu faktor keyakinan moral agama, faktor pertimbangan ekonomis, dan faktor budaya. Dimana tidak semua masyarakat muslim di Indonesia menerapkan teks wahyu sebagai hukum yang hidup, sehingga sering mengabaikan ada atau tidaknya label halal pada sebuah produk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun