Indonesia dikenal sebagai negeri yang kaya akan keanekaragaman budaya, bahasa, dan tradisi. Di setiap sudut Nusantara, terdapat identitas unik yang menjadi cerminan dari sejarah panjang masyarakatnya. Salah satu kekayaan tersebut berasal dari masyarakat Muna dan Buton di Sulawesi Tenggara, yang memiliki tradisi penamaan unik: "La Ode" untuk laki-laki dan "Wa Ode" untuk perempuan. Tradisi ini tidak sekadar penyebutan nama, melainkan memiliki akar yang dalam dalam sejarah dan budaya masyarakat. Kata "La Ode" dan "Wa Ode" berasal dari bahasa Arab yang melambangkan kemuliaan dan kesucian, serta dahulu diberikan kepada keturunan bangsawan dan pemimpin. Penamaan ini mencerminkan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh leluhur dan menjadi simbol identitas khas masyarakat Jazirah Muna dan Buton[1].
Nama "La Ode" dan "Wa Ode" dalam masyarakat Muna mengandung makna simbolik yang dalam, yang berasal dari akar budaya Islam dan tradisi lokal. Istilah "La" pada La Ode merupakan singkatan dari "Lailaha Illallah," sedangkan "Wa" pada Wa Ode adalah singkatan dari "Washadu anna Muhammadah Rasulullah. " Di sisi lain, nama "Ode" dalam bahasa Arab kuno berarti bangsawan, yang melambangkan kemuliaan atau kehormatan di hadapan Allah.
Selain itu, nama-nama ini berfungsi sebagai identitas khas masyarakat Muna yang menunjukkan asal-usul kebangsawanan dan calon pemimpin. Kata "KAOMBO," yang berarti "kemuka" atau "baris depan," menegaskan hak penyandang nama ini untuk menjadi pemimpin di masa depan. Dalam tradisi, La Ode melambangkan malam (Lanahari) yang berhubungan dengan laki-laki, sedangkan Wa Ode melambangkan siang (Wannahari) yang terkait dengan perempuan. Keduanya saling melengkapi, menjadi simbol harmoni dan keseimbangan dalam kehidupan[2].
Esai ini akan membahas lebih jauh tentang makna filosofis di balik nama "La Ode" dan "Wa Ode". Selain itu, akan dijelaskan pula implikasi penamaan ini terhadap pelestarian budaya dan identitas lokal yang memperkaya keberagaman budaya Indonesia secara keseluruhan. Dengan memahami lebih dalam, kita diharapkan dapat menghargai dan melestarikan tradisi ini sebagai bagian penting dari warisan bangsa.
Makna Penamaan La Ode dan Wa Ode
Penamaan La Ode dan Wa Ode dalam tradisi masyarakat Buton memiliki makna yang mendalam, tidak hanya sebagai identitas pribadi tetapi juga sebagai simbol kebangsawanan dan penghormatan terhadap sejarah leluhur. Secara etimologis, "La" dan "Wa" merupakan awalan yang menunjukkan jenis kelamin, dengan "La" untuk laki-laki dan "Wa" untuk perempuan, sementara "Ode" berarti "yang mulia" atau "yang dihormati." Gabungan nama ini menjadi penanda seseorang berasal dari keturunan bangsawan atau keluarga yang memiliki hubungan dengan struktur kerajaan Buton di masa lalu.
Nama ini juga memiliki nilai filosofis yang mencerminkan kearifan lokal. La Ode dan Wa Ode tidak hanya merujuk pada status sosial, tetapi juga merepresentasikan nilai-nilai luhur seperti kehormatan, kebijaksanaan, dan tanggung jawab. Dalam masyarakat Buton, nama ini mengandung pesan moral bahwa seseorang yang menyandangnya diharapkan mampu menjaga martabat keluarga dan menjunjung tinggi adat istiadat. Hal ini menegaskan bahwa penamaan bukan sekadar tradisi, tetapi juga sarana untuk menanamkan nilai-nilai budaya kepada generasi penerus.
Selain itu, penamaan ini memiliki dimensi simbolis yang erat kaitannya dengan sistem sosial di masyarakat Buton. Nama La Ode dan Wa Ode sering kali dikaitkan dengan kelompok masyarakat tertentu yang memiliki peran penting dalam melestarikan budaya, menjaga tradisi, dan menjadi penjaga stabilitas sosial. Nama ini juga berfungsi sebagai identitas kolektif yang memperkuat rasa persaudaraan di antara komunitas masyarakat Buton, baik yang tinggal di daerah asal maupun yang telah merantau.
Namun, penekanan berlebihan pada gelar ini telah memunculkan berbagai permasalahan sosial. Salah satu contohnya adalah pernikahan yang terpaksa dilakukan demi mempertahankan gelar tersebut, yang sering kali memicu konflik dalam kehidupan rumah tangga akibat perbedaan status sosial. Selain itu, ada individu yang memilih untuk tidak menikah karena terhalang oleh persyaratan terkait gelar ini. Tradisi gelar "Ode" juga kerap menjadi penghalang dalam hubungan sosial dan pernikahan. Seiring dengan perubahan nilai sosial, sebagian orang tua di Buton kini memilih untuk tidak mewariskan gelar tersebut kepada anak-anak mereka. Hal ini dilakukan untuk menghindari tekanan prestise sosial yang berlebihan, sekaligus memberi ruang bagi generasi berikutnya untuk menilai pernikahan berdasarkan faktor-faktor lain, seperti ekonomi, pendidikan, dan kasih sayang[3].
Implikasi Penamaan La Ode dan Wa Ode dalam Budaya dan Kehidupan Modern
 Di era modern ini, penamaan La Ode dan Wa Ode dalam budaya Buton memiliki pengaruh yang mendalam terhadap struktur sosial dan budaya masyarakat. Penamaan tersebut menjadi salah satu sarana untuk mempertahankan dan melestarikan identitas budaya lokal di tengah derasnya arus globalisasi, di mana berbagai budaya dan nilai asing semakin mengintrus kehidupan masyarakat Indonesia. Nama-nama ini mengandung makna simbolik yang mampu mengingatkan kita akan pentingnya menjaga warisan budaya, meski dihadapkan pada tantangan zaman yang terus berubah.
Salah satu implikasi utama dari penamaan La Ode dan Wa Ode adalah bagaimana tradisi ini menjadi sarana untuk memperkuat identitas budaya masyarakat Buton. Sebagaimana disebutkan dalam penelitian terkait identitas suatu masyarakat tercermin melalui pola hidup, tradisi, dan nilai-nilai luhur yang diwariskan secara turun-temurun. Tradisi penamaan ini tidak hanya berfungsi sebagai pengingat akan sejarah dan adat istiadat, tetapi juga menjadi simbol komitmen untuk menjaga nilai-nilai budaya Islam yang menjadi landasan kehidupan masyarakat Buton, seperti konsep sakinah, mawaddah, wa rahmah dalam berkeluarga. Dalam konteks modernisasi, di mana tradisi lama sering tergerus, penamaan ini tetap eksis sebagai representasi nilai-nilai luhur yang selaras dengan konsep keberlanjutan identitas budaya lokal dan nasional[4].
Namun, dalam kehidupan modern, penamaan ini juga menghadapi tantangan, terutama dalam kalangan generasi muda. Seiring dengan berkembangnya pendidikan dan mobilitas sosial yang semakin tinggi, ada sebagian orang yang merasa bahwa nama La Ode dan Wa Ode kian jarang dipertahankan dengan alasan praktis, seperti kemudahan dalam berinteraksi dengan dunia luar yang lebih global. Meskipun demikian, terdapat pula upaya dari berbagai kalangan, baik dari komunitas adat maupun pemerintahan setempat, untuk menjaga dan mengkampanyekan pentingnya melestarikan tradisi penamaan ini. Hal ini menunjukkan adanya gerakan untuk tetap menanamkan kesadaran akan nilai luhur yang terkandung dalam nama La Ode dan Wa Ode meskipun dalam konteks dunia yang lebih modern.
Tantangan di era modern terkait dengan sejarah La Ode dan Wa Ode terletak pada anggapan yang berkembang di masyarakat mengenai perbedaan kasta. Hal ini memicu diskriminasi dalam kehidupan sosial dan budaya, yang berpotensi menimbulkan konflik di wilayah Buton. Ketegangan semacam ini tidak hanya mengarah pada perpecahan, tetapi juga menimbulkan permusuhan antarpihak, yang pada akhirnya membawa kerugian besar bagi masyarakat. Namun demikian, jika sejarah La Ode dan Wa Ode tidak dilestarikan atau diperkenalkan kepada masyarakat, terutama generasi muda, maka nilai sejarah dan budaya yang terkandung dalam nama tersebut akan hilang, sehingga generasi mendatang tidak lagi memahami akar budayanya. Oleh karena itu, upaya melestarikan sejarah ini menjadi penting untuk menjaga identitas dan harmoni dalam kehidupan sosial.
Penamaan La Ode dalam kehidupan modern mencerminkan warisan budaya yang dihormati dan memiliki makna mendalam di masyarakat Buton. Gelar ini, seperti yang dianugerahkan kepada Menteri Agama oleh Kesultanan Buton, mencerminkan penghormatan terhadap nilai-nilai sejarah dan budaya lokal. Gelar tersebut tidak hanya melambangkan identitas budaya masyarakat Buton, tetapi juga menjadi pengingat pentingnya menjaga tradisi dalam keberagaman sosial di Indonesia. Dengan penghormatan terhadap identitas budaya seperti La Ode, bangsa Indonesia dapat terus memperkuat ikatan sosial yang berakar pada kekayaan tradisi dan warisan budaya lokal[5].
kesimpulan
Pada masyarakat Buton dan Muna, nama La Ode dan Wa Ode mencerminkan identitas budaya yang mendalam. Nama-nama ini bukan sekadar simbol status sosial, tetapi juga mewakili berbagai nilai seperti kehormatan, tanggung jawab, dan komitmen terhadap tradisi. Meski dihadapkan pada tantangan modernisasi dan globalisasi, tradisi ini tetap lestari sebagai pengingat akan pentingnya menjaga akar budaya dan sejarah.
Upaya untuk melestarikan penamaan tersebut merupakan langkah krusial dalam menjaga harmoni, identitas, dan keberagaman budaya Indonesia. Meskipun menghadapi tantangan, seperti perubahan nilai sosial dan potensi diskriminasi, masyarakat Buton tetap bertekad mempertahankan tradisi ini sebagai warisan budaya. Dengan begitu, mereka dapat memperkuat keberagaman dan memperkaya khazanah budaya nasional sambil menghormati serta memahami makna filosofis di balik nama-nama La Ode dan Wa Ode.
Untuk memastikan gelar ini tetap lestari dan dihargai sepanjang masa, diperlukan kolaborasi yang erat antara masyarakat adat, pemerintah, dan generasi muda dalam melestarikan serta menjaga nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Dengan langkah tersebut, gelar La Ode dan Wa Ode tidak hanya akan terus eksis, tetapi juga menjadi simbol kebanggaan yang menghubungkan masyarakat Buton dengan akar budaya mereka. Hal ini dapat menginspirasi dunia untuk senantiasa melindungi dan menghargai kekayaan budaya lokal yang dimiliki oleh setiap daerah.
REFERENSI
1. Â Â Â Â Alimuddin M. MENGUAK SEJARAH TERLAHIRNYA KATA LAODE DAN WAODE BAGI MASYARAKAT JAZIRAH MUNA DAN BUTON. formuna.wordpress. 2013. Accessed January 26, 2025. https://formuna.wordpress.com/2013/01/01/menguak-sejarah-terlahirnya-kata-laode-dan-waode-bagi-masyarakat-jazirah-muna-dan-buton/
2. Â Â Â Â Ante W, Tarifu L, Iba L. Makna Simbolik Identitas Terhadap Penamaan La Ode Dan Wa Ode (Studi Kecamatan Katobu, Duruka Dan Lohia Kab. Muna). J Ilmu Komun UHO J Penelit Kaji Ilmu Komun dan Inf. 2016;1(2):1-14. https://garuda.kemdikbud.go.id/documents/detail/639797
3. Â Â Â Â Renyaan K. Problematika Gelar Ode Sebagai Status Sosial Orang Buton. kompasiana. 2015. Accessed January 26, 2025. https://www.kompasiana.com/kasmanrenyaan/552b2bc3f17e61c979d623b6/problematika-gelar-ode-sebagai-status-sosial-orang-buton
4. Â Â Â Â Kosilah K, Andarias SH. Mengenal Identitas Masyarakat Buton Melalui Konsep Berkeluarga Dalam Kabanti Kaluku Panda. Sang Pencerah J Ilm Univ Muhammadiyah But. 2017;3(2):39-49. doi:10.35326/pencerah.v3i2.280
5. Â Â Â Â Menag Dianugerahi Gelar La Ode oleh Kesultanan Buton. kemenag.go.id. 2017. Accessed January 27, 2025. https://kemenag.go.id/nasional/menag-dianugerahi-gelar-la-ode-oleh-kesultanan-buton-2ceduh
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI