Salah satu gebrakan Dedi Mulyadi "Bapa Aing" selaku Gubernur Jawa Barat di Maret 2025 kemarin adalah rencana mengaktifkan kembali (re-aktivasi) jalur kereta api Bandung-Ciwidey yang sudah lama tak berfungsi. Jalur kereta api ini merupakan peninggalan Belanda, yang sempat jadi primadona warga Bandung-Ciwidey sebagai angkutan bepergian.
Menurut Dedi Mulyadi, tujuan reaktivasi tersebut adalah untuk mendorong dan mendukung sektor pariwisata di daerah Bandung Selatan, khususnya Ciwidey untuk semakin berkembang maju. Beliau mengatakan, keunggulan kereta api ini karena bisa mengangkut banyak orang dan barang.
Beliau menambahkan, reaktivasi ini sebagai wujud kongkrit dari program prioritas Pemerintah Provinsi Jawa Barat yaitu mewujudkan transportasi publik yang bermanfaat bagi masyarakat. Dengan adanya re-aktivasi jalur Bandung-Ciwidey maka akan mengurangi kemacetan di jalur tersebut.
Tidak bisa dipungkiri ruas jalan raya dari Bandung ke Ciwidey melalui rute Dayeuhkolot-Banjaran-Soreang sudah sangat padat oleh berbagai jenis kendaraan, baik itu mobil pribadi, mobil umum, bus, truk, sepeda motor, becak delman dan sebagainya.
Dengana adanya kereta api, maka masyarakat Bandung-Ciwidey akan bisa menggunakan moda tranpsortasi kereta tersebut untuk bepergian. Dampak yang bisa terjadi ke depan adalah mengurangi biaya transportasi, tidak adanya kemacetan, berkurangnya polusi udara dan juga bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat.
Yang dimaksud jalur rel kereta api Bandung-Ciwidey disini adalah jalur rel yang berawal dari Kota Bandung. Dan jalur rel kereta api ini berakhir di Ciwidey, sebagai sebuah kecamatan yang berada di bagian pegunungan selatan wilayah Bandung Raya. Secara administratif, Kecamatan Ciwidey ini masuk dalam Kabupaten Bandung.
Sejarah Jalur Rel
Jalur kereta api Bandung-Ciwidey dibangun oleh Belanda melalui perusahaaan kereta api Staatsspoorwegen (SS) pada tahun 1917. Belanda membangun jalur tersebut untuk memudahkan pengangkutan hasil perkebunan dari daerah Ciwidey dan sekitarnya, seperti teh, kina dan kopi.
Sebagaimana diketahui di daerah pebukitan dan pegunungan Ciwidey, sudah dibangun beberapa perkebunan teh yang luas membentang hingga tersambung ke Pangalengan dan Cianjur Tengah seperti Sukanagara.
Dulu pengangkutan hasil-hasil kebun tersebut dibawa dengan pedati yang biayanya cukup besar untuk sekali pengangkutan sebesar 15-18 sen gulden per ton, namun volume pengangkutannya justru sedikit (Sumber: Wikipedia). Selain itu, jalur jalan yang turun naik serta jauh, membuat perjalanan pedati ini menjadi lama dari segi waktu.
Adapun jalur rel kereta api ini dibangun dari Stasiun Kiara Condong - Stasiun Cikudapaateh - - Stasiun Cibangkonglor - Stasiun Cibangkong - Stasiun Buahbatu - Stasiun Bojongsoang - Stasiun Dayeuhkolot - Stasiun Kulalte - Stasiun Pameungpeuk - Stasiun Cikupa -Stasiun Banjaran - Staisun Cangkuang - Stasiun Citalatiktik - Stasiun Soreang - Stasiun Ciwidey.
Dari Stasiun  Soreang menuju ke Stasiun Ciwidey, pembangunan jalur rel kereta api ini memakan waktu cukup lama karena kondisi geografis yang berbukit-bukit dan banyak lembah. Selain itu harus dibangun juga jembatan karena melewati beberapa sungai.
.
Pada tahun 1924, jalur kereta api Bandung - Ciwidey baru bisa diselesaikan. Beberapa stasiun perhentian dari Soreang ke Ciwidey adalah Sadu, Cukanghaur, Cisondari dan Ciwidey Â
Ketika dioperasikan, jalur kereta api ini banyak mengangkut orang dan barang-barang seperti hasil bumi dari perkebunan (teh, kina dan kopi), pertanian (sayur-sayuran seperti bawang, kentang, kol dan sebagainya) dan peternakan (ayam, kambing, sapi).Â
Selain hasil bumi, di Majalaya mulai bergeliat juga aktivitas ekonomi yaitu tenun tekstil. Hal ini membuat Belanda menambah jalur rel kereta api dari Stasun Dayeuhkolot ke Stasiun Majalaya. Tujuannya agar produk tekstil kain lebih cepat diperdagangkan keluar dari Kota Bandung.
Barang-barang yang dibawa kereta api ke Kota Bandung tersebut untuk selanjutnya diperdagangkan. Misalnya, Belanda membawa teh, kopi dan kintaa ke Jakarta melalui jalur rel kereta api Bandung-Jakarta, lalu dikapalkan ke Pelabuhan Tanjung Priok untuk dibawa ke Eropa.
Jalur kereta api Bandung - Ciwidey ini secara resmi diberhentikan pada Januari 1982. Alasan pemberhentian dikarenakan kalah bersaing dengan angkutan umum. Biaya pendapatan ternyata tidak bisa menutupi biaya operasional kereta api di jalur tersebut.
Sebelum ditutup, padahal pada tahun 1970-an angkutan kereta api di jalur Bandung-Ciwidey ini merupakan moda transportasi yang digemari masyarakat. Â Namun dalam perkembangannya, ada juga kisah kelam yang mengiringi riwayat jalur ini. Salah satunya yaitu kecelakaan kereta api di lintasan rel Jembatan Cukanghaur yang menewaskan Kepala Stasiun Ciwidey.
Tantangan Re-Aktivasi
Kejayaan angkutan rel kereta api Bandung-Ciwidey jaman Belanda dulu hingga tahun 1980-an hendak dibangkitkan kembali. Apalagi kondisinya sangat relevan dengan kondisi jalan raya di Bandung dan sekitarnya termasuk Soreang dan Ciwidey yang selalu macet.
Sehari-hari saja kondisi kemacetan yang terjadi sudah parah. Jika ditambah dengan hari Sabtu dan Minggu dan hari libur nasional lainnya, kawasan tersebut makin macet sangat parah karena banyaknya wisatawan yang berkunjung ke Ciwidey. Â Orang-orang asli Bandung menyebut kemacetan tersebut "parkir berjemaah" karena mobil lama tak bergerak terjebak dalam kemacetan.
Namun pertanyaannya, apakah realistis re-aktivisi tersebut? Sebab kondisi eksisting di sepanjang jalur rel kereta api Bandung - Ciwidey tersebut sudah menjadi kawasan terbangun. Ada rumah-rumah penduduk, tempat usaha, toko bahkan hingga pusat perbelanjaan modern.
Salah satu contohnya, di Kampung Dayeuhkolot. Banyak warga yang mendirikan rumah dan tempat usaha di sepanjang rute jalur rel kereta api dan sekitarnya. Bahkan ada rumah warga yang di dalamnya, terdapat rangkaian besi baja rel.
Karena jalur rel kereta api Bandung-Ciwidey ini lama tidak difungsikan, lama terbengkalai dan luput dari pengawasan PT. Kereta Api Indonesiaa (KAI), maka akhirnya terjadi penyerobotan dan pendudukan tanah di sepanjang ruas jalur rel tersebut. Dari titik awal jalur rel di Kota Bandung hingga titik akhir rel di Ciwidey., sudah banyak terjadi alihfungsi rel menjadi kawasan terbangun seperti rumah, toko, warung dan lain-lain.
Ternyata penggunaan lahan ruas jalur rel kereta api Bandung-Ciwidey tidak hanya dilakukan oleh masyarakat. Ada juga pihak swasta yang menggunakannya seperti pengembang perumahan Podomoro Park dan Transmart Buahabatu Bandung.
Pihak PT.KAI juga mengakui bahwa masyarakat dan swasta yang menggunakan lahan milik PT.KAI ada melalui mekanisme sewa dan perjanjian kerjasama. Namun ternyata, masih banyak masyarakat yang tidak mau adanya perjanjian sewa dengan PT.KAI.
Karena sudah banyak bangunan yang berdiri di atas jalur rel kereta api tersebut, maka tantangan berat bagi PT.KAI dan pemerintah adalah memindahkan warga masyarakat dan juga swasta dari areal jalur rel kereta api. Dari aspek sosial, hal ini rentan memunculkan adanya gesekan sosial.
Selain itu, dari sisi finansial. Ada kemungkinan pemerintah harus mengeluarkan ganti rugi berupa pengagantian bangunan yang sudah didirikan oleh masyarakat. Tentunya jumlah dana yang dikeluarkan sudah pasti akan besar pula.
Yang tidak kalah rumit adalah pemindahan masyarakat tersebut, bukan hanya pindah rumah saja. Mencari tempat baru untuk tempat tinggal, bukanlah perkara yang mudah. Harga-harga tanah di sekitar pinggiran Kota Bandung sekarang ini sudah semakin tinggi.
Dan juga bagaimana dengan ruang penghidupan ekonomi masyarakat? Karena mereka sudah banyak yang mendapatkan pundi-pundi ekonomi dapurnya dari wilayah sekitar rel kereta api tersebut. Jika pindah, mereka harus mencari dan memulai kembali aktivitas ekonominya.
Jadi, realistiskah?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI