Mohon tunggu...
Arief Firhanusa
Arief Firhanusa Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pria yang sangat gentar pada ular

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

Sepak Bola Indonesia Kini Jadi Lumbung Gol Tim Asing

30 September 2014   22:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:53 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1412080432656317285

[caption id="attachment_362858" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi - Kapten Timnas U-19 Indonesia Evan Dimas Darmono dihadang pemain U-19 Myanmar, Nan Wai Min dan Htike Htike Aung (kiri) pada pertandingan persahabatan di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, Senin (5/5). (Kompas/Heru Sri Kumoro)"][/caption]

Tidak timnas tidak klub ISL, tim-tim negeri ini jadi bulan-bulanan lawan. Setelah kita dibuat kecewa berat saat Timnas Asian Games dibekuk Korut 1-4, Jumat pekan lalu, barusan tadi Persipura yang bertarung di kancah AFC Cup dibekuk tanpa ampun  0-6 oleh klub Al Gadsia Kuwait di Stadion Mandala dalam partai semifinal. Hasil itu mencatatkan agregat memalukan bagi Persipura: 10-2 untuk skuad besutan Antonio Puche Vicente.

Begitu mudah tim-tim kita dibobol lawan. Skor mencolok bahkan menerjang pula Timnas U-23 di Asian Games kala Thailand mempermalukan Indonesia 6-0 di babak penyisihan grup, sebelum tim garapan Aji Santoso itu dipermak Korut. Di kancah lain, meski ini tidak terlalu menyesakkan dada lantaran tataran uji coba -- uji coba yang keren sebab dilakukan di Spanyol -- Timnas U-19 juga digasak Barcelona B dengan skor (lagi-lagi) 6-0.

Boleh dibilang, Indonesia kini jadi lumbung gol bagi kesebelasan-kesebelasan dari berbagai negara, dalam berbagai ajang, meski bila kita menyodorkan fakta bahwa ini "bukan barang baru" lantaran dari dulu kita juga sering kok kebobolan banyak gol dan kalah pula maka kita bakal memakluminya. Tetapi bahwa sepak bola adalah cabang olahraga superfavorit di negeri ini, alangkah njomplang antara kegilaan dan prestasi.

Kita memang dibuat gila. Setiap akhir pekan tinggal pilih Bundesliga atau Liga Inggris di televisi. ISL versi Indonesia juga mendapat tempat di layar kaca. Uji tanding timnas-timnas kita juga disiarkan langsung, bahkan ketika tim tersebut menjajal klub-klub Spanyol. Para ABG begitu bangga memakai kostum Ronaldo atau Messi. Di jalanan berseliweran orang menunggang motor seraya memakai jaket Barcelona, MU, atau Real Madrid. Ribuan anak mendaftar ke SSB agar pintar main bola seperti Neimar atau Falcao.

Sepak bola menjadi kegilaan tersendiri sampai-sampai para petaruh memggadaikan BPKB motor. Para suporter saling tikam mempertahankan primordial, dan membakar spanduk jika timnya kalah. Para politisi menggelar nonton bareng seraya mengacungkan jari sebelum pilpres lalu.

Tapi apa lacur, sepak bola dalam negeri seperti jalan-jalan di tempat. Atau seolah berceloteh kencang di dalam tempurung. Setelah rebutan kursi di PSSI mereda, dan sepak bola seolah-olah bangkit dengan dibentuknya timnas-timnas dari berbagai usia, pengelola dan rakyat negeri ini lupa bahwa sepak bola memerlukan perhatian dan penanganan serius dari sekadar apa yang diucapkan.

Sepak bola tak melulu menggulirkan kompetisi, atau mengubah-ubah format yang tak tentu dan tak permanen dari tahun ke tahun hingga kini lahir apa yang disebut Liga Nusantara, kasta di bawah ISL. Sesibuk apa pun pengurus PSSI membangun sistem kompetisi dan format, sesemangat apa pun PSSI menasionalisasi pemain-pemain impor, tetapi bila pembinaan tak pernah benar, maka kita hanya akan terus menjadi penonton.

Tengoklah sekolah sepak bola (SSB) yang kini sudah intim dengan mafia. Bibit-bibit pemain itu di-'tindas' untuk terus memenangi kompetisi sampai mereka jenuh mengikuti turnamen yang hampir tiap pekan digelar. Sudah begitu, mereka juga sering tak diberi kesempatan turun ke lapangan lantaran ada hukum "siapa ortu punya duit, maka anaknya dimainkan".  Bagi mereka yang tak bisa menyelipkan doku ke kantong pelatih, mereka harus rela duduk di bangku cadangan.

Seleksi-seleksi (konon untuk timnas ini dan itu) pun sering digelar di daerah-daerah. Sudah rahasia umum, barangsiapa orang tua pemain yang turut seleksi sanggup membayar tim talent scouting (yang sering cara mengamplopinya dilakukan di kamar mandi, dengan cara menyelipkan foto si pemain di sela tumpukan uang), maka si anak bisa diangkut ke Jakarta untuk menjalani seleksi berikutnya. Dan, di Jakarta pula sering ada transaksi untuk perekrutan ke tim utama. Tidak semua penyelenggara seleksi melakukan cara-cara culas seperti itu seperti ditunjukkan Timnas U-19 yang fair, namun di mana ada seleksi (terutama untuk kelompok-kelompok umur bawah) di situ ada tawar-menawar.

Bagaimana bisa menghasilkan pemain yang jagoan bila cara membinanya masih seperti mendidik anak menjadi pencopet macam itu? Bagaimana timnas kita bisa diandalkan bila pengelola sepak bola menutup mata? Bagaimana kita bisa memiliki tim nasional yang kencang dan kuat macam Thailand kalau sepak bola menjadi alat berpolitik?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun