Pada awal 2023 lalu, publik Depok dikejutkan dengan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang terjadi di kawasan Cinere. Dalam peristiwa tersebut, seorang suami menyiram bubuk cabai ke mata istrinya dalam pertengkaran rumah tangga. Istri yang menjadi korban langsung melawan, hingga suaminya mengalami luka pada bagian kemaluan. Ironisnya, sang istri justru ditetapkan sebagai tersangka lebih dulu dan sempat ditahan. Padahal, ia telah mengalami kekerasan berulang sejak tahun 2014.Kasus ini bukan hanya soal kekerasan fisik. Ini adalah cermin dari lemahnya sistem perlindungan terhadap korban KDRT, khususnya perempuan. Ketika proses hukum lebih cepat memvonis korban sebagai pelaku, kita harus bertanya: apakah hukum kita cukup berpihak pada yang lemah?
Penyebab Kekerasan: Dari Emosi Tak Terkontrol hingga Sistem yang Tumpul
Kekerasan dalam rumah tangga tidak terjadi dalam ruang hampa. Beberapa penyebab utama yang memicu KDRT antara lain:
Gagalnya pengendalian emosi dan komunikasi antar pasangan. Konflik yang seharusnya bisa diselesaikan secara dewasa berubah menjadi aksi kekerasan karena minimnya kemampuan mengelola emosi.
Relasi kuasa yang timpang. Dalam budaya patriarki yang masih mengakar, laki-laki sering merasa memiliki kontrol penuh atas pasangan, termasuk secara fisik.
Minimnya intervensi dini. Dalam kasus di Depok ini, riwayat KDRT sudah terjadi sejak hampir satu dekade lalu, namun tak ada langkah hukum atau psikologis yang tegas sejak awal.
Hukum yang belum berpihak pada korban. Penahanan korban KDRT atas tuduhan "tidak kooperatif" adalah preseden buruk yang membuat korban lain semakin takut melapor.
Upaya Penanggulangan yang Harus Diperkuat
Berangkat dari kasus di atas, ada beberapa solusi dan upaya penanggulangan yang perlu segera dilakukan:
1. Pendidikan Emosional dan Pencegahan Dini
Pemerintah Kota Depok melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3AP2KB) harus aktif dalam edukasi publik terkait relasi sehat, pengelolaan emosi, dan bahaya KDRT. Edukasi ini bisa dimulai dari tingkat RT/RW melalui forum warga atau posyandu keluarga.
2. Layanan Terpadu bagi Korban
Korban KDRT membutuhkan pendampingan psikologis dan hukum sejak awal. Layanan pengaduan 24 jam dan bantuan hukum dari LBH atau lembaga seperti Komnas Perempuan sangat penting agar korban tidak merasa sendirian.