Dengan kolaborasi semacam ini, proses belajar menjadi lebih relevan dan adaptif terhadap tren industri 4.0.
Tantangan Implementasi Teaching Factory
Meski konsep ini sangat ideal, pelaksanaannya tidak selalu mudah. Salah satu tantangan utama adalah keterbatasan fasilitas dan peralatan di sekolah. Selain itu, tidak semua guru memiliki pengalaman langsung di industri, sehingga pelatihan tambahan perlu dilakukan.
Namun, meskipun terdapat kendala, pemerintah terus mendorong penerapan Teaching Factory melalui dukungan anggaran, pelatihan guru, dan kerja sama lintas sektor. Dengan demikian, model ini diharapkan semakin merata di seluruh SMK di Indonesia.
Teaching Factory dan Kurikulum Merdeka
Dalam Kurikulum Merdeka, Teaching Factory menjadi bagian penting dari pembelajaran berbasis proyek. Melalui pendekatan ini, siswa diberi kebebasan untuk berinovasi sesuai minat dan potensi mereka. Selain itu, guru berperan sebagai fasilitator yang membimbing siswa agar proses produksi tetap sesuai standar industri.
Dengan begitu, sistem ini tidak hanya meningkatkan keterampilan teknis, tetapi juga mengembangkan soft skill, seperti komunikasi, kreativitas, dan kolaborasi.
Kesimpulan
Teaching Factory SMK bukan sekadar metode belajar baru, melainkan strategi transformasi pendidikan vokasi yang membawa SMK ke arah lebih profesional dan produktif. Karena siswa belajar langsung dari dunia industri, mereka tidak hanya siap kerja, tetapi juga siap berwirausaha.
Melalui kolaborasi antara sekolah, guru, siswa, dan dunia usaha, konsep ini mampu menjadi jembatan nyata antara pendidikan dan dunia kerja. Oleh karena itu, Teaching Factory layak menjadi fokus utama pengembangan SMK di era modern.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI