Prinsip check and balances adalah jantung dari sistem demokrasi konstitusional. Ia dirancang bukan untuk memperlambat proses pengambilan keputusan negara, melainkan sebagai mekanisme pengaman terhadap kecenderungan alami kekuasaan yang ingin meluas tanpa batas. Dalam negara demokrasi modern, kekuasaan yang tidak diawasi adalah awal dari otoritarianisme yang disamarkan. Indonesia, dengan segala dinamikanya sebagai negara demokrasi pasca-reformasi, mewarisi semangat check and balances dari konstitusi hasil amandemen. Namun, dalam praktiknya, prinsip ini tak selalu berjalan sebagaimana mestinya.
Reformasi Konstitusional: Semangat yang Tertahan di Praktik
Pasca-reformasi 1998, semangat untuk membangun sistem ketatanegaraan yang demokratis tercermin dalam empat kali amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Salah satu hasil pentingnya adalah pembentukan lembaga-lembaga negara independen dan penguatan posisi lembaga legislatif serta yudikatif dalam struktur kekuasaan. Dalam teori, Indonesia meninggalkan model supremasi eksekutif ala Orde Baru dan mengadopsi sistem presidensial yang menekankan pemisahan kekuasaan serta pengawasan antarlembaga.
Namun, realitas politik menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara desain kelembagaan dan dinamika politik. Batas antara lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif tidak selalu tegas, bahkan sering kali saling berkelindan secara tidak sehat. Secara kelembagaan, kita tampak memiliki struktur demokratis, tetapi dalam praktik sehari-hari, relasi antar-lembaga sering kali dipenuhi dengan kompromi politik yang mengorbankan fungsi kontrol dan akuntabilitas.
Kooptasi Politik dan Legislasi Transaksional
Salah satu kendala utama dalam pelaksanaan prinsip check and balances di Indonesia adalah kooptasi politik yang dilakukan oleh eksekutif terhadap legislatif. Koalisi besar yang dibangun oleh presiden terpilih---yang dalam banyak kasus mencakup hampir semua partai politik besar di parlemen---mengurangi daya kritis dan fungsi pengawasan DPR terhadap pemerintah. Ketika mayoritas fraksi di DPR adalah bagian dari koalisi pemerintah, maka yang terjadi bukanlah pengawasan, melainkan pembenaran.
Koalisi semacam ini mengaburkan fungsi oposisi, yang sejatinya vital dalam menjaga keseimbangan kekuasaan. Demokrasi yang sehat membutuhkan oposisi yang kuat, berani, dan kompeten. Namun, dalam iklim politik kita, oposisi sering kali dianggap sebagai ancaman, bukan sebagai bagian penting dari sistem.
Lebih jauh, relasi antara DPR dan pemerintah sering kali dibingkai dalam transaksi politik, terutama dalam pembahasan anggaran dan legislasi. Undang-undang yang seharusnya menjadi produk deliberasi publik justru sering kali dihasilkan melalui kesepakatan tertutup antara elite politik. Proses legislasi dijalankan dalam tempo cepat, minim partisipasi publik, dan kerap kali mengandung pasal-pasal kontroversial. Dalam beberapa kasus, naskah undang-undang bahkan berubah diam-diam setelah disahkan, seperti yang terjadi pada UU Cipta Kerja yang sempat dibatalkan Mahkamah Konstitusi.
Fenomena ini menunjukkan bahwa DPR bukan hanya tidak menjalankan fungsi pengawasan, tetapi juga cenderung menjadi alat legitimasi kebijakan eksekutif. Dalam konteks ini, prinsip check and balances mengalami keretakan serius. Ketika legislasi menjadi alat kompromi elit, maka rakyat kehilangan kendali terhadap hukum yang mengatur kehidupan mereka.
Yudikatif dan Masalah Independensi
Jika legislatif kerap menjadi "mitra" eksekutif, harapan pun berpindah pada lembaga yudikatif, khususnya Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Dalam desain konstitusional, lembaga peradilan memiliki peran krusial dalam menjaga konstitusi serta memberikan tafsir hukum terhadap kebijakan pemerintah. Namun, kasus demi kasus menunjukkan bahwa independensi lembaga ini pun kerap diragukan.