Saat ini, kita hidup di era digital, dimana satu unggahan Platfrom contohnya Instagram sudah bisa menjangkau jutaan orang hanya dalam hitungan menit. Influencer dengan ribuan bahkan hingga jutaan Followers telah menjadi salah satu kekuatan besar dalam lanskap komunikasi digital. Tidak heran bila sekarang banyak perusahaan yang mulai mengalihkan strategi komunikasi mereka yang awalnya dari media konvensional ke media sosial, melalui para Influencer. Tapi muncul pertanyaan besar, apakah kolaborasi antara Public Relations (PR) dan Influencer ini merupakan strategi yang cerdas atau mungkin justru membawa resiko tersendiri bagi perusahaan?
Â
Peran PR memang telah berevolusi.jika dulu PR lebih banyak bermain diranah media Relations dan Publikasi Pers, kini peran itu melebar hingga ke pengelolaan citra di Media Sosial. Nah disinilah Influencer mulai dilirik sebagai Mitra Strategis. Dengan Kolaborasi ini menjanjikan eksposur yang cepat, dapat menjangkau segmen pasar yang spesifik, dan juga mampu membangun keterlibatan audiens secara lebih personal. Karna di zaman sekarang Influencer lebih dipandang autentik dibandingkan iklan tradisional, karena pesannya pun disampaikan terasa lebih organik.
Â
Namun, seirng dengan meningkatnya kolaborasi ini, muncul pula tantangan dan potensi risiko yang tidak bisa diabaikan. Beberapa kasus memperlihatkan bagaimana kolaborasi yang salah sasaran justru bisa merusak reputasi Brand. Contohnya jika seorang Influencer ternama tersandung kasus hukum atau melakukan tindakan kontroversial, maka Brand yang terafiliasi bisa terkena imbasnya. Disinilah pentingnya PR untuk tidak hanya melihat jumlah followersnya saja, tetapi juga meperhatikan rekam jejak digital, serta tingkat kepercayaan seorang Influencer.
Â
Ada masalah lainnya juga yaitu kesenjangan antara nilai Brand dan gaya komunikasi Influencer. Tidak semua Influencer cocok untuk semua Brand. Misalnya, Brand produk kesehatan yang bekerja sama dengan Influencer yang gemar mempromosikan Junk Food tentu akan memunculkan pertanyaan dari publik. Oleh karena itu, PR harus mampu melakukan riset terlebih dahulu lebih mendalam sebelum memutuskan bekrja sama dengan seorang Influencer. Tidak hanya soal engagement rate, tapi juga soal kredibilitas dan kesesuaian nilai (Brand-fit).
Â
Dalam dunia PR, membangun hubungan jangka panjang itu lebih penting daripada sekadar viral sesaat. Maka dari itu, kolaborasi dengan Influencer semestinya tidak hanya berbasis pada proyek sekali pakai. Idealnya, PR membangun kemitraan jangka panjang dengan Influencer yang memiliki integritas, sehingga komunikasi Brand menjadi lebih konsisten dan dipercaya publik.
Â
Solusi dari perspektif PR adalah menyusun strategi kolaborasi yang komprehensif. Dimulai dari pemetaan personal Influencer, mengidentifikasi audiens target, menyusun pesan komunikasi yang tepat, hingga monitoring dan evaluasi dampak kampanye. PR juga harus menyiapkan skenario krisis apabila kolaborasi tidak berjalan sesuai harapan. Pendekatan berbasis data sangat membantu dalam memilih Influencer yang tepat dan mengukur efektivitas kerja sama.
Â
Akhir kata, kolaborasi antara PR dan influencer memang bisa menjadi strategi yang sangat efektif jika direncanakan dengan matang. Namun tanpa pertimbangan yang komprehensif, kerja sama ini bisa menjadi bumerang. Di era digital yang penuh dinamika ini, PR dituntut lebih adaptif, analitis, dan kritis dalam memilih mitra komunikasi. Jadi, apakah kolaborasi dengan influencer adalah strategi atau risiko? Jawabannya: tergantung bagaimana Anda melakukannya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI