Dulu, Pegadaian itu tempat terakhir sebelum nyerah. Sekarang? Tempat pertama sebelum waras.
Aku inget betul, ibu pernah nyelipin cincin kawinnya ke loket Pegadaian. Katanya, "Biar anak bisa ujian." Sekarang aku nyelipin receh ke Tabungan Emas Pegadaian. Kataku, "Biar anak nanti nggak perlu gadai masa kecilnya."
Nabung emas mulai dari Rp10.000. Lebih murah dari kopi shop, dan nggak bikin jantung deg-degan karena utang. Tiap bulan aku setor, bukan karena kaya. Tapi karena capek misquen terus.
Pegadaian ngajarin kami melek finansial. Bukan lewat seminar politik, tapi lewat aplikasi yang bisa diakses sambil rebahan. UMKM diajak naik kelas, bukan cuma disuruh sabar sambil nunggu investor fiktif.
Sekarang ada Bank Emas. Bukan cuma simpan, tapi bisa titip, bisa jual, bahkan bisa pantau lewat HP. Modern, tapi tetap nyambung sama warga. Karena masa depan nggak bisa digadai, tapi bisa ditabung.
Aku pernah mikir gini, "Emas itu cuma buat orang kaya." Ternyata, emas itu buat orang yang capek ditinggal janji. Karena logam mulia nggak pernah PHP. Nilainya naik pelan-pelan, tapi pasti. Nggak kayak janji kampanye yang naik pas pemilu, hilang pas dilantik.
Di warung sebelah, ibu-ibu udah mulai bahas Tabungan Emas. Bukan gosip artis, tapi gosip harga emas hari ini. "Naik 0,3 persen. Bu, lumayan buat masa tua." Mereka nggak lagi bahas skincare, tapi strategi bertahan hidup.
Pegadaian sekarang bukan cuma tempat gadai barang. Tapi tempat warga nyimpen harapan. Â
Tempat anak muda belajar bahwa investasi itu bukan gaya hidup, tapi cara bertahan.
Karena di negeri yang inflasinya kadang lebih cepat dari mood, punya emas itu bukan pamer... itu perlindungan.
Pegadaian MengEMASkan Indonesia: Bukan Sebatas Slogan, Tapi Gerakan Warga
MengEMASkan Indonesia bukan cuma soal logam mulia. Tapi soal memuliakan warga. Soal bikin ekonomi rakyat nggak cuma bertahan, tapi berkembang. Soal bikin ibu-ibu warung bisa nabung tanpa harus jual panci.